Chapter 1: The Flight

1.6K 70 7
                                    

"Ndroooo, Indroooo! Jam 9 woy lu belom packiiiiing! EEENDROOOO!!!"

Suaranya yang membahana mau nggak mau membangunkan gue dari hibernasi 15 jam yang gue rapel dari kemarin pasca nggak tidur 2 malem. Akibat. Laporan. Akhir. Tahun. Kakak gue satu ini emang nggak ada duanya kalo suruh ngalahin alarm. Suaranya bisa dipake gantiin toa masjid buat bangunin warga sekelurahan. You might have thought that I'm a guy who grows some beard on my face judging from my name. Nope, sorry to disappoint you. I don't have beard. And I have a beautiful normal girlie name, Indrika, and if it wasn't for my beloved sister who called me Indro all the time people wouldn't have thought I'm a male.

"Indro Maritos Kampritos Despacitos!" teriaknya sekali lagi sambil narik selimut gue dan bawa teflon penggorengan. Ya gimana lah mau nggak bangun berisiknya udah kayak anak komplek takbiran. What an unbelievable sister I've got.

"Bangun gue mak, udah. Bangun." Jawab gue sambil setengah merem.

We both grow up and stay together while our parents live in different city. Senyebelin apapun, bagi gw dia udah kayak pengganti ibu, makanya sejak SMP gw panggil dia mak instead of kak, mbak, or even sis because definitely I'm not an olshop admin. Kakak gue, Indira, selisih 4 tahun di atas gue dan karena perbedaan umur yang tanggung ini lah kami jadi lumayan dekat, tapi juga sering berantem.

"Lu belum packing, dari kemarin molor, kalah beruang kutub!"

"Capeeek..." suara gue masih setengah ilang dan serak-serak becek.

"Flight ke Bangkok jam 12 kan? Udah jam 9 ini beberes aja belum"

"Dokumen kantor udah siap mak, gue tinggal mandi aja..."

"Ya terus lu ganti baju pake apa? Dokumen lu ditempel ke badan?"

"Tinggal nyomot aja sih.. udah ah bikinin telur ceplok sana gue mandi"

"Ya milih-milih kek, matching-in baju kek, lu ke sana jadi sekalian ketemu Khunce ngga sih?! Ngga niat amat. Dress up lah dikit!"

Nama itu lagi. Kalian mungkin bertanya-tanya itu nama banci pengkolan mana. But as I said before, kakak gue emang suka ngaco kalo nyebut nama orang. His name is actually Nicholas Arfan. Wallahu alam dapet darimana Khunce.

Ini adalah tahun ketiga gue sama Nick setelah kami berusaha keras mempertahankan LDR beda negara selama 2 tahun ke belakang. Setahun setelah kami pacaran, dia harus pindah ke Bangkok untuk ngurusin perusahaan farmasi keluarganya yang punya branch di sana. It's not that we met often, tapi untuk ukuran orang LDR beda negara bisa ketemu sebulan atau dua bulan sekali ya lumayan kan? Jadi kehidupan percintaan gue nggak ngenes-ngenes banget sebagai jomblo geografis.

But the biggest problem in our relationship is: ME.

Gue termasuk orang yang laid back abis dan jujur, I'm very bad at multitasking. Gue belum pernah bisa memberikan hati gue sepenuhnya  buat seseorang karena nggak siap ama resiko. Jatuh cinta nggak cuma indah-indah di masa PDKT doang, tapi lu juga mesti siap sama masa-masa jenuh, atau konflik, bahkan putus. Salah satu lagu favorit gue liriknya begini: Falling in love is beautiful, but nobody wants to deal with the pain that follows. Dan itu yang gue jadiin patokan. Ya bayangin aja lu setengah mati sayang ama seseorang trus dikecewain atau harus pisah, siapa yg susah? Lu juga kan?

Berdasarkan itulah hubungan gue ama Nick, banyak yang bilang, berasa dianya doang yang usaha. Gue terkesan lebih nyantai dan cuek, dan dia yang kelihatan "aktif" banget. Nick sama gue polar opposite. Dia orang yang selalu totalitas dalam segala hal, bahkan hal-hal kecil yang detail dalam hubungan kami selalu dia perhatikan. Apa makanan yang nggak gue suka, gaya baju yang selalu bikin gue nyaman, ke mana kita harus pergi kalo mood gue lagi kayak apa. Memastikan setiap hari gue udah nyampe rumah atau belum kalo ada lembur, bahkan minta supir atau temennya di Jakarta buat jemput kalo gue kemaleman banget. Level dia 11 out of 10 lah sebagai pacar.

November RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang