Chapter 3: You and Meal

539 55 1
                                    

Distance. That's all it takes to make you change. It drives you apart, it also brings you closer. Because eventually, touch is louder than words.

Ketika berjauhan sama orang yang lu sayang, akan ada masalah-masalah kecil yang muncul dan memancing lu untuk membesar-besarkan segala hal yang muncul. Once the distance is gone, all the problems seem to fade away. Tanpa jejak seolah nggak pernah terjadi sebelumnya.

"Missed you like crazy.." I mumble while sinking in his chest.

"Emang sengangenin itu lah pacarmu." Nick membalas seraya memeluk gue rapat-rapat, sesekali mendaratkan kecupan di ubun-ubun dan ngasak ngusuk poni gue. Gue nggak pendek-pendek amat sebenernya, dia aja yang kelebihan kalsium penumbuh tulang.

"Mau makan som tam ya? Boleh ya?"

"No fine dining?"

"No fine dining, nggak bawa dress."

"Jauh-jauh ke sini makan rujak" tangannya meraih tangan gue dan menarik gue ke parkiran mobilnya.

Nick is 188 cm. He's got what you might call as ideal feature, nggak kegedean kayak mas-mas kebanyakan gym, nggak juga kurus kerempeng. One thing about him that completely suits my taste is the fact that he loves casual clothes, apart from his job as a company manager. He just doesn't like dressing up too formally. But once he does, I lose my sanity. Minta diakad saat itu juga gue.

Selama 3 tahun menjalin hubungan, kami juga bukan pasangan yang bebas dari pergunjingan. To tell you the truth, he's quite good looking, enak dilihat kayak ayam padang yang anget keluar dari penggorengan gitu, mengundang. Sementara gue kayak kobokan nasi padang. Nggak ding. Gue kayak sambel ijo mungkin. Not that pretty, only slightly. I'm not ugly, you know. But compared to him, I look too plain. Ibarat level dia 10, gue 7.5, itupun 0.5 nya dibantu pensil alis ama lipstick.

Banyak kolega dia terutama, yang mempertanyakan hubungan kami. Dikira gue pake pelet apaan. They think he deserves better. Well, frankly speaking I had the same thought about this, that he definitely deserves someone better, but he chose me anyway.

"I know they like me, but I bet no one else can handle me as good as you can. You're calm and steady. You always know where you stand. I overacted a lot, and you're the only one who can push the right button at the right moment. Keep me grounded." Itu yang dia bilang suatu hari waktu gue ngeyel minta penjelasan kenapa dia tetep mau bertahan sama gue ditengah gunjingan netizen dan perselisihan yang kami alami.

Driving in Bangkok is no different from Jakarta. The traffic is so bad that you just wanna jump out from your car and take the train instead. Sayangnya BTS, train system yang mereka punya, nggak menjangkau semua area. Dan karena gue bawa koper tentu saja pacar gue yang ekstra protektif dan nggak mau ribet ini menolak mentah-mentah ide gue untuk naik kereta aja.
Di mobil gue ceritain kejadian hampir ketinggalan pesawat dan cowok yang nolongin gue tadi ke mas pacar.

"Kok tega dia jutekin kamu?"

"Tauk tuh, orang cuma mau bilang makasih" gue masih mendengus kesal.

"Kalo aku jadi dia ya nggak bakalan ketus gitu lah,"

"Karena nggak tega ya aku cantik ya?"

"Enggak, karena mau minta bales budi, suruh kamu bayar uang terima kasih, hahaha"

"Bodooo!" Gue toyor kepalanya sambil ketawa sebel.

Setelah itu obrolan kami terasa samar karena gue ketiduran, lagi, selama hampir satu jam perjalanan kami terjebak macet.

Restoran yang kami tuju berada di daerah pinggiran kota, Huamar Bangkapi. Area ini terkenal dengan banyaknya restoran halal dan pemukiman muslim. Gue bukan orang yang taat 100% tapi urusan makanan, gue berusaha sebisa mungkin untuk menghindari perbabi-babian.

November RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang