«ENAM PULUH SATU»

4.6K 243 10
                                    

Setelah beberapa menit ditangani dokter, akhirnya detak Jantung Arga kembali normal meskipun Arga masih tidak sadarkan diri.

Dari balik pintu, jelas Aqila menghembuskan napasnya lega dan mengucapkan seribu syukur pada tuhan. Begitu juga Tari dan Leon, mereka sangat bersyukur untuk itu.

Aqila mengusap air matanya gusar. Aku yakin, kamu pasti akan bangun sayang. I can't wait.

Setelah dokter dan para susternya keluar, mereka bertiga pun masuk kembali ke ruang rawat Arga. Dilihatnya Tari yang langsung berhambur memeluk Arga, ia tak kuasa lagi untuk menahan tangisnya.

Aqila sampai tidak menyadari sudah puluhan panggilan tak terjawab dari papa dan mamanya sedari tadi. Ah, ia sampai melupakan itu. Pasti mereka sedang menunggu dibawah.

Melirik ke arah jam berwarna rose gold yang bertengger di tangan kirinya, lebih tepatnya jam pemberian Arga, waktu sudah menunjukkan tengah malam. Aqila harus segera pulang, lagian besok jadwalnya kuliah pagi.

Sebelum pergi dari situ, Aqila duduk di kursi samping ranjang Arga. Ia memejamkan matanya seraya memegangi tangan Arga yang pucat nan dingin itu. Harapannya hanya satu, semoga Arga membuka matanya.

Aku akan menunggu kamu untuk membuka mata. Semoga allah mengizinkan.

Perlahan, ia mengecup kening Arga dalam waktu yang cukup lama.

Terlepas dari kecupan itu, Aqila segera menghampiri Tari dan berpamitan.

"Tante, Aqila pulang dulu ya."

"Loh. Kenapa pulang? Udah tengah malem gini?" tanya Tari heran.

"Soalnya mama sama papa udah nunggu di bawah tan. Lagian besok Aqila ada jadwal kuliah," tutur Aqila. Sebenarnya ia enggan untuk pergi, takutnya terjadi apa-apa lagi pada Arga seperti tadi. Tapi apa boleh buat, kalau bukan karena jadwal kuliahnya yang padat itu, mau tak mau Aqila harus bisa membagi waktu.

"Oh iya. Hati-hati ya sayang. Salam sama mama papa kamu."

Aqila hanya menganggukkan kepalanya mengiyakan sebelum menyalimi tangan Tari.

......

Sesampainya di rumah, Aqila hanya berdiam diri saja di balkon kamarnya seraya menatap bintang yang bersinar terang di atas sana, ditemani oleh cahaya bulan separuh menghiasi langit malam.

Semilir angin malam menghembus tubuh Aqila. Tidak peduli bagaimana dinginnya angin malam, untuk saat ini Aqila butuh menenangkan pikirannya.

Arga, aku rindu.

Sungguh, rindu yang dirasakan Aqila saat ini lebih dari sekedar ditinggal pacar ldr. Ini lebih parah, karena Arga yang masih hidup dan berada di dekatnya tetapi sedang berada di ambang antara hidup dan mati, ia memang hidup tapi seperti tak bernyawa. Rasanya sangatlah hampa.

Terbesit di pikiran Aqila sosok Erza, ah rupanya ia juga merindukan sahabatnya itu. Aqila pun merogoh handphone yang ia simpan di saku celananya dan mengetikkan nomor telepon Erza. Kali saja ia belum tidur.

Yang Aqila dengar hanya sang operator kurang kerjaan. Ia berdecak kesal. Erza tidak mengangkat panggilan darinya.

"Ni operator lama-lama gue gorok tau rasa ya!" kesal sudah Aqila. Demamnya memang belum turun, tetapi Aqila mengabaikannya. Ia tidak mau beranjak dari sana, suasana seperti ini sangatlah nyaman.

Sepi, sunyi, dingin, ah semua itu terlepas ketika siang hari dimana kota Jakarta yang ramai, panas karena polusi, maka dari itu Aqila sangat menyukai hari ketika malam tiba.

Alih-alih panggilannya yang tak kunjung mendapat jawaban, langsung saja Aqila memasuki kamarnya. Menoleh pada jam dinding, memperlihatkan waktu sudah pukul 3 dini hari.

Memang sih, kalau tidak dipaksakan, Aqila malas sekali untuk berangkat kuliah. Ditambah lagi dengan demamnya yang sangat mengganggu itu, kalaupun besok tidak masuk, sudah dapat dipastikan jika besoknya ia pasti akan mendapat tugas lagi. Dan tugas yang diberikan kemarin saja sebenarnya belum Aqila kerjakan sama sekali.

......

Tok..tok..tok..

"Aqila, kamu udah bangun?" tanya Karin dari balik pintu.

Aqila tidak menjawab Karin, ia hanya menyelimuti dirinya dengan selimut hangat. Ia menggigil kedinginan dan wajahnya pun pucat pasi.

Tak kunjung mendapat jawaban, Karin pun menggerakkan kenop pintu kamar Aqila yang ternyata tidak dikunci.

Karin otomatis sangat cemas ketika melihat putrinya itu sedang tidak baik-baik saja.

Ia pun menyentuh kening Aqila, suhunya ternyata sangat panas dan tangannya pun terasa sangat dingin, sedingin es.

"Pa, Aqila demam lagi pa." Karin berteriak memanggil Andra dari dalam kamar Aqila. Langsung saja Andra datang setelah berlari menaiki tangga.

"Aqila, ayo kita ke rumah sakit," ajak Andra. Karin menganggukkan kepalanya kuat seraya membantu Aqila untuk berdiri dan berjalan ke bawah.

Untung saja Andra belum berangkat menuju kantornya. Jadinya dengan segera, Aqila bisa dibawa ke rumah sakit.

......

"Gimana keadaan anak saya dok?" tanya Andra cemas pada dokter yang baru saja keluar setelah memeriksa Aqila.

"Anak bapak hanya terkena demam tinggi, perlu istirahat yang cukup. Dan jangan terlalu banyak pikiran. Ia butuh perawatan di sini selama 2 sampai 3 hari. Permisi."

"Terima kasih dok."

Langsung saja Andra dan Karin memasuki ruangan itu dimana ada Aqila sedang terbaring lemah dengan selang infus yang menempel di tangannya.

"Ma pa, Aqila pengen pulang," ujar Aqila lemah dan sangat pelan seperti tak bersuara.

Mungkin kata dokter benar, Aqila terlalu kecapean dan banyak pikiran. Menyebabkan dirinya drop seketika. Bagaimana tidak, padahal ia sedang demam. Malah memaksakan pergi ke rumah sakit dan malah berdiam diri di balkon satu jam lamanya, jadinya tambah parah.

Karin mengusap kepala Aqila lembut. "Kamu perlu istirahat yang cukup sayang, kata dokter kamu harus dirawat."

Aqila menggelengkan kepalanya pelan tanda tak mau. "Aqila gak mau ma."

"Cuma 3 hari aja kok. Ini juga kan demi kesehatan kamu."

Aqila tetap tidak mau, ia menggelengkan kepalanya lagi.

Karin menatap pada Andra, mungkin dengan bujukan Andra, Aqila akan menyetujuinya.

"Kamu sayang papa? Sayang mama juga?" tanya Andra pada Aqila.

Tak perlu ditanya lagi, ya jelas Aqila sayang lah. Lantas ia pun mengangguk.

"Kalo kamu sayang, kamu harus nurut. Ini juga demi Arga, dia pasti sedih liat kamu sakit kaya gini."

Mendengar papanya menyebutkan nama 'Arga' membuat dirinya termenung. Sepertinya ia luluh jika menyangkut perihal Arga.

Demi Arga, papa dan mamanya. Aqila pun mengangguk mengiyakan meski rasanya terpaksa. Ia tidak mau melihat orang tuanya sedih.

......

To be continue...

Jangan lupa pencet bintang ya^^
Komennya apalagi 😢

Love you💕
-Author

Cianjur, 30 Mei 2019

My Stupid BadBoy [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang