Dian begitu sangat berbeda, itu yang ada di pikiran Panji sore kemarin. Dian seolah menjelma sebagai sosok langka yang belum pernah Panji temui selama ini. Begitu menggiurkan. Seperti orang terkena pelet Panji kehilangan kendali diri kala melihat Dian berdiri bak patung Yunani tanpa balutan pelindung. Nalurinya sebagai lelaki menggedor-gedor, mendorong Panji tenggelam dalam pusaran gairah yang belum pernah dirasainya.
Ya Tuhan, apa yang sudah Panji lakukan? Dian memang istrinya yang sah. Tak ada yang salah dengan kejadian semalam. Mereka halal dan sudah sewajarnya melakukan itu.
Dan benar, Tuhan begitu pandai membolak-balikkan hati Panji. Akan tetapi, apakah serapuh itu pertahanannya sebagai lelaki? Kenapa Panji mudah sekali tergoda. Tergoda oleh Dian? Yang sudah ia anggap adik sendiri. Apa ini hukuman atas sikapnya yang telah menentang takdir?
Panji menyandarkan punggungnya dengan gusar dan sedikit frustasi. Bersamaan dengan itu, ia menyingkirkan pensil mekanik dan buku grafiknya menjauh, fokus Panji terbelah. Dian yang manis, Dian yang pasrah, sudut bibir Panji tertarik ke atas saat memikirkan kata-kata itu. Tanpa sadar, Panji mengelus dagunya yang tidak gatal, menggesekkan jari-jemarinya pada rambut-rambut pendek tajam yang tumbuh di area itu, sambil membayangkan peristiwa semalam. Rasa lapar kembali menerjangnya. Panji menelan ludah. Menggelengkan kepalanya untuk menahan diri agar tidak mendatangi Dian dan memintanya lagi. Sampai sebuah ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.
Panjang umur! Buru-buru Panji menarik lagi buku grafiknya mendekat dan pura-pura sibuk. Entah kenapa melihat Dian yang berjalan ke arahnya serupa magic yang membawa aura panas.
"Kopinya, Mas!"
Dian berdiri tenang di samping Panji, tak langsung pergi setelah meletakkan secangkir kopi di atas meja kerjanya. Wangi tubuh Dian menguar, bau sabun bercampur aroma parfum menciptakan percikan geli di perut Panji. Dasar penggoda!
Panji laki-laki normal, tidak salah bila responnya berlebihan.
Panji mengangkat cangkir kopi itu, menyesapnya dalam, berharap bisa mengembalikan otak warasnya yang sempat liar karena ulah gadis yang masih betah berdiri di sampingnya ini.
"Sini!" Panji menepuk pahanya, meminta Dian duduk di pangkuannya, dan Panji tak mengerti kenapa ia harus melakukan ini.
"Sini, Sayang!" Pintanya lagi, saat Dian tak kunjung menurutinya. Gadis itu tampak menimbang-nimbang ragu. "Kamu nggak capek berdiri terus?"
"Aku bisa duduk di situ!" Dian menunjuk sofa di pojok ruangan.
Panji segera menarik tangan Dian dan sedikit memaksa gadis itu naik ke pangkuannya. Posisinya kini berhadap-hadapan. Lalu, kedua lengan Panji mengurung pinggang Dian. Dada gadis itu yang mengundang tepat di depan mata Panji, dan itu sukses membuat jantung Panji cukup kelabakan.
"Kamu kenapa sih? Bisa anteng, nggak? Gerak-gerak terus, memangnya kamu nggak berat?"
"Nggak nyaman kayak gini, Mas! Sumpah deh! Aku duduk di sana aja lah!"
Panji menahan Dian dengan menekan pinggangnya. "Di sini aja!"
Dian meronta. "Ish ish, geli!"
"Makanya anteng! Jangan gerak-gerak."
Dian menatapnya sebal, tapi akhirnya menurut dan berhenti bergerak.
"Daripada kamu berdiri jamuran, kan lebih enak begini."
"Ish!"
Dulu, saat mereka masih kanak-kanak. Dian yang masih Sekolah Dasar, dan saat itu Panji sudah masuk perguruan tinggi, tak jarang gadis ini bermanja padanya. Mereka juga sering tidur bersama. Melakukan aktivitas pribadi bersama. Tapi kebiasaan itu resmi berhenti saat Dian sudah akil-balig, tepatnya saat Panji mengetahui Dian telah mendapat tamu bulanan. Entah kenapa, ia merasa aneh bila terus melakukan itu meskipun mereka kakak beradik.
"Itu, apa?" Panji menuding benda berwarna keemasan yang sejak kemarin cukup menarik perhatiannya. Benda itu seperti sengaja Dian letakkan di lemari kaca miliknya, tempatnya meletakkan beberapa cendera mata saat Panji melakukan traveling ke beberapa kota maupun luar negeri.
"Itu namanya Gold Button. Aku kan udah 1 juta subcriber, Mas."
Panji mengerutkan kening tak paham. "Siapa yang ngasih?"
"Dari Youtube dong! Aku juga punya yang silver, di rumah Pakuwon."
"Oh ya? Apa bedanya sama yang itu?"
"Ya jelas beda! Yang silver itu saat dulu aku baru dapat 100 ribu sucriber."
Panji terpana. "Congratulations! Dari Youtube sendiri yang ngirim?"
"Ih, nggak perhatian banget. Masa baru ngerti?!" Dian menepuk pundak Panji yang keras. Gadis itu sudah mulai nyaman duduk di pangkuannya dengan melingkarkan lengannya di leher Panji.
Panji mengangguk-angguk. Ternyata sudah sejauh itu karir Dian menjadi pengembang konten kreator.
"Kenapa? Aku hebat, kan?" Dian tersenyum manis.
Mereka bertatapan lama. Panji seperti baru menyadari kalau gadis yang sudah ia anggap adik kandungnya ini, yang sudah hidup selama belasan tahun dengannya, benar-benar sangat manis dan menggiurkan. Bibirnya kemerahan alami, dengan rahang ramping yang pas di posisinya. Hidungnya mancung gen dari Ayahnya yang konon katanya keturunan Belanda. Di usianya yang masih belia, Demi Tuhan Panji seperti tertipu oleh tampilan luar seorang Dian, gadis ini jelas-jelas memiliki tubuh wanita dewasa yang langsung mampu membuat Panji kalang kabut.
Kemana saja Panji selama ini? Seperti dia baru saja melewatkan permata di depannya selama belasan tahun, hingga baru menyadari hal itu. Kali ini Panji benar-benar membutuhkan segenap kendali diri untuk tidak menerjang Dian seperti binatang buas saat berada sedekat ini.
"Kamu mau hadiah apa?" tanya Panji lirih.
"Hadiah? Maksudnya?" Dian tak mengerti.
"Untuk applause perolehanmu itu. Butuh diapresiasi, nggak? Biar lebih semangat lagi."
Dian manggut-manggut. "Tanya gitu berarti aku boleh minta apa aja dong? Serius? Jangan nyesel ya, kalau aku mau sesuatu yang susah dikabulin."
Panji tertawa. Dagunya diangkat jemawa. "Emang mau minta apa, sih?"
Dian menatapnya serius. Matanya yang cokelat mengejanya. Lalu, Panji merasakan jemari Dian mengusap dadanya yang lebar dan berkata lirih. "Bagaimana kalau hatimu?
Panji diam, masih mempertahankan ekspresinya yang datar.
"Jujur saja, Mas, nggak ada yang benar-benar aku pengin di dunia ini selain hatimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kamu dan Pengikat (TAMAT)
RomanceDian sangat mencintai suaminya. Meskipun suami sekaligus pria yang dulu pernah menjadi kakak angkatnya itu telah menjatuhkan hatinya pada wanita lain. Jika bisa memilih, lebih baik Setya memilih kekasihnya, daripada terikat dengan gadis yang sudah...