Rindu.

2.5K 457 35
                                    

Benar kata Dongpyo, rindu itu berat plus nyebelin. Beda sama Hyungjun, berat gitu dia malah gemesin.

.

.

.

Udara disini cukup dingin, namun selalu memberi ketenangan. Salah satu, tempat kesukaan Eunsang untuk menjernihkan pikiran. Masih terbesit jelas, beberapa bulan lalu. Ketika Junho meminta izin darinya untuk mengikuti pertukaran pelajar.

"Eunsang, kalau aku ikut pertukaran pelajar. Menurut kamu gimana?"

Eunsang terdiam sejenak. "Oh! Bagus, dong? Hebat banget kesayangan aku."

Junho mengusak rambut Eunsang lembut. "Kalau aku ditawari buat ikut pertukaran pelajar ke Jepang. Gimana?" Tanya Junho kembali.

Lagi, pikiran Eunsang mulai berkecamuk. Ia bingung harus menjawab apa sebagai bentuk respon yang nyata.

"Maaf, ya? Aku belum sempat cerita ke kamu. Karena, aku pikir nggak mungkin juga aku lolos semua test. Tapi, kemarin aku dapat kabar kalau aku lolos dan bulan depan jadwal keberangkatannya." Jelas Junho kembali.

Sesuatu dalam diri Eunsang seperti mengganjal. Berhenti di tenggorokannya hingga membuat ia rasanya sulit untuk bernafas. "Oh—ya? Berapa lama kamu disana?"

"Aku disana selama enam bulan," Junho mengenggam tangan Eunsang. "Kalau kamu nggak mau aku pergi, aku nggak bakal pergi, kok. Gimanapun, aku juga nggak bisa jauh dari kamu."

Banyak yang bilang, kalau Eunsang itu adalah pribadi ceria yang selalu menebar senyum manisnya. Namun, sekarang ia merasa akan menjadi orang paling cengeng. Eunsang tidak mungkin menahan Junho untuk meraih mimpinya. Ia tidak ingin menjadi pacar egois.

"Aku nggak mungkin nahan kamu disini, kalau itu baik buat masa depan kamu." Menghela nafas pelan; Eunsang tersenyum. "Gapapa, kamu boleh pergi kok, Junho."

Eunsang semakin tersenyum kala ditubuhnya ditarik dan berakhir di pelukan Junho. Eunsang balas memeluk Junho, mengabaikan air mata yang mulai bergenang dan membuat penglihatannya sedikit buram.

"Cukup tunggu aku selama enam bulan, ya. Habis itu, kita bakal bareng lagi. Aku janji selalu hubungin kamu selama disana."

"Huum! Aku nggak perlu oleh-oleh." Suaranya sedikit bergetar, namun ia refleks tertawa kecil. "Cukup bawa diri kamu pulang dengan selamat dan utuh. Aku bakal jadi orang yang paling bahagia."

Bukannya Eunsang selalu menebar senyuman. Ia hanya cukup handal untuk menutupi kesedihan dengan senyuman.


Sejujurnya, Eunsang tidak ingin meragukan Junho dengan mendengar rumor simpang siur yang datang dan pergi seperti angin. Namun, kenyataan jika seminggu setelah Junho pergi, ia bahkan tidak sama sekali memberi kabar untuk Eunsang sampai sekarang, membuat Eunsang sedikit ragu.

"Junho robot nyebelin. Bisa-bisanya dia pergi nggak kasih aku kabar." Monolog Eunsang. Ia terkekeh; menganggap dirinya bodoh.

Sudah enam bulan Junho pergi. Hingga musim panas telah berganti sepenuhnya menjadi musim dingin.


Liburan musim dingin telah tiba. Eunsang masih betah bergulung di dalam selimut tebalnya; mengurangi rasa dingin yang masih menyelinap masuk melewati celah-celah. Tidak ada siapapun dirumahnya, kedua orang tua Eunsang sedang bekerja dan kakaknya –Jungwoo– mengerjakan tugas kelompok.

Masih mengenakan piyama kesukannya, dengan langkah ringan Eunsang berjalan ke dapur; membuat coklat panas akan membuat moodnya lebih baik. Hingga kembali ke kamar, Eunsang melirik jendela yang tidak tertutup gorden melihat salju yang bertumpuk diluar sana dan juga ada jejak kaki.

Sebentar, jejak kaki—?

Jejak kaki itu terlihat jelas walaupun nyaris tertutup salju. Jejak kaki yang mengarah ke pintu utama rumah Eunsang. Ia yakin, kalau kakaknya sudah menutup pintu dengan rapat, kok.

Didera rasa penasaran, Eunsang menuruni tangga rumahnya dan berjalan cepat menuju pintu depan. Ia memutar kunci dan menarik knop pintu hingga membuatnya terbuka.

Bruk.

Eunsang terdiam kala sesuatu mengenai kakinya yang terbungkus kaus kaki; menatapnya kosong. Lelaki itu, masih sama dengan enam bulan yang lalu, hanya kini lebih tirus. Itu Cha Junho, ada didepannya tanpa luka sedikitpun.

"Halo, sayangnya Junho. Aku nganggu tidur kamu, ya?"

Eunsang masih terdiam. Hingga, matanya menangkap bibir Junho yang bergetar menahan dingin. "Ju–Junho, ayo masuk dulu. Kamu kedingingan kayak gitu."

Disini mereka sekarang, di ranjang Eunsang dengan selimut yang menemani. Junho berdeham, nampaknya ingin menjelaskan sesuatu.

"Eunsang, aku tahu mungkin bingung. Kemana aku selama enam bulan ini tanpa kasih kamu kabar." Jelasnya. "Sampai disana, ponsel aku diambil sebagai jaminan selama pertukaran pelajar berlangsung. Demi apapun, disana aku selalu mikirin cara buat hubungin kamu."

Eunsang masih diam mendengarkan. Ia memilih untuk bersandar di bahu Junho.

"Aku minta maaf. Aku paham kalau kamu mungkin marah sama aku. Cha Junho ini bodoh banget, ya? Aku kangen banget sama kamu."

"A–aku juga kangen, huks." Eunsang menyerah. Sekuat apapun ia mencoba untuk selalu tersenyum, air matanya meminta untuk keluar. "Aku takut kamu disana –huks, lupa sama aku." Jawabnya terbata.

"Aduduh, kok kesayangan aku nangis, sih?" Junho memeluk Eunsang untuk sekedar menenangkan. "Maafin aku, ya? Udah sering bikin kamu nangis belakangan ini. Percaya sama aku, aku nggak bakal mungkin lirik yang lain kalau Lee Eunsang aja udah lebih dari cukup buat aku."

"Aku sayang kamu."

"Aku juga sayang kamu, Junho."

Masih dengan air mata yang mengalir, Eunsang balas memeluk Junho erat. Takut jika Junho pergi kembali, jika Eunsang tidak berpegangan dengannhya.

.

The End.

.

.

Aku nggak tahu ini worth atau nggak buat dibaca, karna bikinnya ngebut. Buat yang suka vote atau komen makasih banyak, ya! Buat yang masih suka sider, semoga segera disadarkan. 💗

Drabble Junho - EunsangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang