Karena hari masih peralihan dari siang ke sore, kereta belum terlalu ramai sampai berdesakan. BTS yang kami naiki menuju ke Siam sebelum transfer ke jalur lain, dan sebagai pusat perbelanjaan dan fashion di Bangkok, banyak orang yang juga bertujuan ke sana.
Di gerbong yang kami naiki, hanya ada satu tempat duduk tersisa dan Brian mempersilahkan gue duduk dan dia berdiri di samping kursi gue. Satu stasiun setelahnya, penumpang semakin bertambah dan ada seorang biksu yang cukup renta di antaranya. Sebagai orang yang punya kesadaran sosial gue langsung berdiri dan mempersilahkan dia duduk. Dia tersenyum dan menyatukan kedua tangannya sebagai gesture berterima kasih. Gue membalas dengan senyum.
Mau nggak mau gue harus berdiri berhadapan dengan manusia itu lagi. Dia yang sedang bersandar di badan kereta menawarkan untuk tukar posisi, yang tentu saja gue terima dengan senang hati karena mending gue nyender daripada bergelantungan. Berdiri di jarak kurang dari 60 cm membuat gue bisa mencium aroma parfumnya dengan jelas. Citrusy. He smells like temptation.
He has such sharp jaw lines and high-bridged nose. Satu, dua, tiga. I count the moles in his neck down to his chest. Everything is so vivid. I can't even look away.
No, I choose not to look away.
Pengumuman bahwa kami akan segera berhenti di Siam Station membuyarkan tatapan gue dan kami pun turun untuk ganti kereta. Kereta yang kami naiki ke Sapan Taksin tidak begitu ramai dan kami sama-sama mendapat tempat duduk yang bersebelahan. Dia bersandar dan memejamkan mata sejenak.
He rests his hands on his thighs, and I take a closer look. His long fingers have very well-trimmed nails. I wonder if all people who play guitar have the same nice hands and nails as he does. Someone told me that learning how to play guitar really ruins your fingers at the beginning. Did it hurt him too?
"Have you been wondering why I woke you up the other day?"
"Hah?" pertanyaannya yang tiba-tiba menyela pertanyaan-pertanyaan yang lagi ngambang di otak gue.
"Yesterday. You kept asking me why I woke you up,"
I look at him. He's talking to me with his eyes closed.
"Uh huh. I thought you waited for me or something. Tapi kamu bilang jangan ge er. So I stop thinking." Kamu. Gue memanggilnya dengan 'kamu'. Did I just say that?
I see a slight smile on his face but that's about it. Dia nggak meneruskan percakapan kami.
Selang 10 menit kami sampai di Sapan Taksin lalu melanjutkan perjalanan ke Wat Arun dengan perahu. Saat itu hari sedang berangin dan sungai Chao Phraya bergelombang tinggi. Kami sampai harus benar-benar berpegangan erat pada sisi-sisi tempat duduk.
Beberapa kali hempasan perahu menyebabkan air sungai terpercik ke arah penumpang. Ibu-ibu nyentrik yang menahkodai perahu kami terlihat santai mengendalikan kemudi sambil merokok dan tersenyum sarkas melihat kepanikan penumpang dibalik kacamata hitamnya.
Brian memeluk rapat ranselnya, melindunginya dari tempias air sungai. Whatever is in there, it must be something he treasures most.
Perahu yang kami naiki berhenti di Pier 9, yang seharusnya menuju ke Wat Pho dan Grand Palace. Untuk menuju Wat Arun kami harus berjalan menuju dermaga sebelahnya dan menyebrang sekali lagi.
"Kamu nggak mau ke Wat Pho atau Grand Palace? Mumpung di sini?"
"Nope. Wat Pho would be nice but I think Grand Palace is overpriced."
"And overrated." gue menyetujuinya. "So... Langsung nyebrang aja?"
"Nggak dong, gue mau beli jajan dulu."
"Apaaaa mau apaaa?" gue menjawab dengan kesal
"Itu, es kelapa sama sate udang yang gede-gede."
"Fine.." I roll my eyes and he smiles. Annoyingly.
Setelah jajan kami menyeberang lewat dermaga dengan perahu seharga 4 Baht. Wat Arun sebenernya terletak tepat di seberang Wat Pho dan Grand Palace. Tapi nggak tau kenapa perahu dari Sapan Taksin berhentinya di sisi Grand Palace, bukan langsung ke sisi Wat Arun.
Perahu menepi dan wisatawan terlihat semakin ramai karena hari memasuki waktu senja, dan Wat Arun terkenal dengan viewnya saat sore hari sampai matahari terbenam dan lampunya menyala. Gue duduk-duduk di taman depan kuil dan Brian mengeluarkan kamera, lensa, mini tripod, dan tetek bengeknya dari dalam daypack.
So that was what he has been protecting.
"Whoaa.. I didn't know you like photography!" I exclaim in awe.
"You didn't ask." jawabnya sambil masih berkonsentrasi penuh menyusun peralatannya.
"Fair enough."
I don't understand photography. Dan buat gue orang yang pinter motret tuh keren banget karena gila aja, tombolnya sebanyak itu buat apa coba? Kan nangkep gambar pake satu tombol aja cukup. Selama ini gue kemana-mana cuma ngandalin kamera hape dan moto sekena-kenanya.
Indira sering banget ngomel masalah ini. Katanya gue menyia-nyiakan moment dalam hidup. Padahal gue sering kesana kemari walaupun untuk urusan kantor. Dan gue selalu spare time buat explore tempat sekitar meskipun cuma satu-dua hari. Tapi feed instagram gue standard abis.
Gue selalu nolak kalo ditawarin beli kamera. Gue juga nggak paham kenapa kameranya yang udah ada lensanya mesti dibeliin lensa lagi, sampe sepanjang teropong bintang. Tapi gue gengsi mau nanya, biar nggak terlihat bodoh.
"Indrika! Berdiri di situ ya" dia memanggil gue dari kejauhan setelah menemukan spot yang sesuai untuk mengambil gambar dan menunjuk di mana gue harus berdiri.
"Gue jadi objek? Kan udah ada temple-nya?"
"Biar nggak plain. Masa temple doang. I need a living object as well."
Outfit gue yang plain, gue membatin. Today I'm wearing a plain creme shirt and jeans, luckily I bring a round hat to make myself a bit cuter. Or at least that's what I thought.
Sesuai arahan dia, gue berpose. Muter, geser ke kiri, ke kanan, dari belakang. Gue paling suka difoto dari belakang, karena nggak perlu mikirin ekspresi.
"Udah ah capek." gue menghampiri dan duduk di rerumputan dekatnya.
"Nggak mau lihat hasilnya?"
"Nggak deh. Percaya bagus."
"Lah? Hahaha" dia tertawa sambil memencet-mencet tombol yang ada di kameranya dan sepertinya fokus melihat hasil.
The sun is slowly setting and not long afterwards, they turn the light on and the temple looks even more majestic. It stands out like a mountain of gold. Now he focuses even more because he said taking a night photography is a lot harder than capturing objects in broad daylight. Ya gue ngangguk-ngangguk aja karena gue pikir kalo gelap kan tinggal ngidupin flash. Sependek itu pikiran gue.
He's done and begins to pack his kits back to his bag. Then he sits next to me.
"Indrika,"
"Ya?"
"What if I tell you, that I'd been paying attention the moment you walked into the gate that day?"
Wait, what is this feeling inside my stomach? Rasanya gue pengen kabur ke toilet. Tapi gue bergeming.
He keeps staring at me with a very playful pair of eyes. It's like he's waiting for me to say something, but my tongue and my lips demand me to stay shut.
"Ndri?" he moves and now we're sitting face to face.
"Hmm?" I'm still at lost for words.
"Dinner?" He gets up and reach out his hand to mine.
*
Mas oknum sudah mulai terlihat minta disleding ya guise :))) Let me know what you think and don't hesitate to give comments. Maklumi aku yang masih anak bawang ini. Please share if you think it's worth to share ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
November Rain
ChickLit"Brian. Nama gue Brian. Lu kan denger tadi nama kita dipanggil barengan?" ujarnya ketus. Indrika memandang laki-laki yang membangunkannya dari last call pesawat yang hampir membuatnya ketinggalan penerbangannya ke Bangkok tadi. Punggungnya perlahan...