Close my eyes and let the world go by
I feel the rain drops on my mind
And when the time gets hard with nowhere left to hide
Just wanna drop down and cryI'm still looking at the name on my phone's screen, and I feel like my hands were paralyzed. Angkat, perintah otak gue. Tapi tangan gue bergeming. Across the table, he keeps staring at my motionless gesture.
"Nggak diangkat? Halo, Indri?" dia melambaikan tangannya ke muka gue.
"Ng... Ntar aja deh." I slide the screen to 'decline'.
This is a battle against my logic. And I'm losing.
"Siapa?"
Yaelah pake nanya udah liat juga nama kontaknya pake 💕 Instead of explaining, I give him a smile. Then I realize there was something in his expression, something I can't decipher.
"Gue capek, pulang yuk?"
He nods.
"Besok jadi?" tanyanya lagi, seperti nggak merasa ada yang salah dengan panggilan yang dia lihat di hape gue.
"We'll see." gue jawab sambil meminta bill.
Kami menempuh perjalanan pulang dengan tidak banyak bicara. Sesekali gue ngeliat dia dan tiap tatapan kami bertemu dia cuma senyum-senyum biasa, masih seolah nggak ada apa-apa.
"Kamu nggak merasa bersalah apa gimana gitu ya?" gue tanya waktu kami duduk bersebelahan di kereta.
"Atas?"
I give him a piercing look. He seems aloof and nonchalant.
"Oooh.. masih gara-gara yang tadi? Hahah makanya besok ikut. Gue traktir deh. Es kelapa."
Nyengir lagi? Bangke. Dimana common sense-nya ini orang coba?
Gue menghabiskan sisa perjalanan dengan memejamkan mata menghindari tatapannya. Salah, menghindarkan diri untuk tidak menatapnya. Di dalam tas, hape gue masih bergetar tanda Nick masih berusaha menelepon gue.
Di luar kereta jalanan terlihat padat dan gemerlap dengan kombinasi lampu kota dan kendaraan yang padat seperti kerumunan kunang-kunang. Kota besar rata-rata di mana pun sama aja, macetnya siang malem. Di tambah lagi, Bangkok memiliki pengendara motor yang jumlahnya cukup significant, mirip dengan Jakarta.
Sampai di stasiun Asok gue dan Brian sama-sama turun. Wait, kenapa dia turun di sini juga? Harusnya dia kan masih terus sampai 3 stasiun lagi?
"Lah ngapain turun?" gue bertanya bingung.
"Gue anter ke hotel lah." dia menyampirkan tasnya ke punggung.
"Bisa kali sendiri. Masih rame juga jalanannya."
"Nggak gentleman dong gue?"
"Isshh paan sih. Hutang gue lunas ya, awas nagih-nagih lagi."
"Berarti yang besok bukan bagian dari hutang ya, masih tetep mau ikut?"
Hmm pancing aja terus. Gue jorokin juga nih di tangga. So I just shrug.
"Bentar mampir ke sevel dulu." gue inget mau beli pasta gigi karena yang di hotel pasta gigi-nya berasa agak asin-asin aneh. Rasa coconut and salt. Apaan dah.
Brian memutuskan untuk menunggu di luar sevel sementara gue masuk sekalian membeli cemilan. Saat sedang memilih pasta gigi, dari kaca di atas lemari pendingin gue melihat bayangan seseorang yang sepertinya familiar sedang mendekat.
"Indri? Indrika ya?" sapanya. The first person in a long time who actually called my first name completely, and correctly.
Fania Haraska. Dengan rambutnya yang digulung, dress selutut dan slip on yang dikenakannya, dia masih terlihat cantik luar biasa. Like she didn't even try. Like usual. Like, ever.
"Oh, hi.." gue membalas sapaannya dengan masih agak kaget, dan awkward.
"This is so suprising, isn't it?" katanya sambil mengembangkan senyum pepsodent ala miss beauty pageant.
"Hahaha," gue cuma bisa ketawa canggung.
"Nick lagi di Guangzhou kan? Kamu ngapain dong di sini?" Okay, so she knows.
"Iya, lagi urusan kantor kok. I didn't know you get back from The US," dan gue baru sadar, this is Bangkok, not Jakarta. What is she doing here?
"Wait, Nick didn't tell you anything?"
Whaaat?
For you who are wondering, Fania adalah mantan pacar Nick yang pindah ke US sejak pertengahan masa kuliah mereka. Sebagian besar keluarganya sudah pindah ke sana, jadi dia diminta untuk ikutan pindah. Dan menurut yang gue denger dari inner circle-nya Nick, dia adalah mantannya yang paling bikin gamon. First love dies hard.
Sebelum ketemu gue, of course.
I met her once in one of Nick's cousins' birthday party two years ago in Jakarta. At that time I felt over the moon because, Nick proudly introduced me as his new girlfriend to her. But I didn't make me any less surprised at how gorgeous she was. Gila gue jadi kayak kecambah rawon di depan bunga tulip yang sedang merekah.
Of all places on earth, why here, and now? And what did she say? Nick didn't tell me about anything?
Setelah gue membayar odol kami berdua berjalan keluar minimart dengan sok akrab. Fania bertanya tentang kegiatan gue selama business trip.
"Udah selesai?" Brian berdiri dari kursinya di halaman sevel. Dia juga sama kagetnya sama gue ketika ngeliat Fania yang berdiri di samping gue saat itu. Dari wajahnya seolah dia nanya "who-is-she?" yang nggak terucap.
"Oh, you're with someone. Who is this?" Fania menatap gue kebingungan. Three puzzled people in one place.
Awkward moment ke 3527537 hari itu.
"Brian. Debt collector." dia menyodorkan tangannya menyalami Fania.
"Ow, okay.." she looks even more puzzled.
"Mana pasta gigi-nya?" dia menoleh ke arah gue sekarang.
"Ha? Oh, hahah.. ini," gue kasih belanjaan gue ke dia.
"She owed me a toothpaste. Ini gue nagih suruh beliin." katanya menjawab tatapan bingung Fania.
"I see! hahaha, kirain ngapain, Indrika diikutin debt collector."
"Hehehe" apalah yang bisa gue lakukan selain tertawa. Pengen tenggelem aja di selokan.
"Right, gotta go now. Nice to see you guys, will definitely see you round, Ndri!" Fania meninggalkan kami dan menuju ke arah sebuah mobil yang terparkir di jalan samping minimart.
Will definitely see you round, she said. Hmm. And she drives a car?
Kalau memang ini cuma liburan atau mampir doang ke Bangkok, why does she drive? Why didn't she take taxi? Atau dia liburan agak lama jadi nyewa mobil?
My hand is lifted up someone puts a toothpaste in it. Pasta gigi gue kembali ke tangan.
"Lu keliatan cengo gitu," katanya. "Muka lu kayak meminta pertolongan dari dalam hati."
"I did?"
"Iya, like 'Oh God, please somebody get me out of this awkwardness' gitu, makanya gue inisiatif menyelamatkan. Keren nggak?"
"Serah bapak aja dah." gue menggelengkan kepala.
"Siapa?"
"Ini pertanyaan 'siapa' yang keberapa hari ini?"
"Well.." dia mengedikkan bahu.
"Bri, I have people I don't have to tell you about. We just know each other for two days."
"Don't have to, or don't want to?"
Skak mat.
KAMU SEDANG MEMBACA
November Rain
ChickLit"Brian. Nama gue Brian. Lu kan denger tadi nama kita dipanggil barengan?" ujarnya ketus. Indrika memandang laki-laki yang membangunkannya dari last call pesawat yang hampir membuatnya ketinggalan penerbangannya ke Bangkok tadi. Punggungnya perlahan...