Bagian 1

21.4K 647 10
                                    

"Ketika kalian baru tertidur, Kami sudah terbangun. Ketika kalian baru terbangun, Kami sudah berjalan. Dan ketika kalian baru berjalan, Kami sudah berlari."

- Tentara Nasional Indonesia

                               ⚓

Tak sedikit dari kalian yang 'mungkin' tak menyukai kami. Tak sedikit dari kalian yang meremehkan pekerjaan kami. Bahkan tak sedikit juga dari kalian yang benar-benar tidak mengerti, apa yang sebenarnya kami kerjakan.

Kami akan menerima itu, kami akan mencoba mengikhlaskan itu, Tetapi kami pun tak akan membiarkan sesuatu yang buruk 'itu' terjadi, seperti yang kalian semua pikirkan.

|Arin POV|

Rabu, 8 Agustus 2018

Rabu. Aku tak pernah menyukai hari Rabu. Aku bahkan selalu membenci hari itu. Semenjak pertama kalinya aku berselisih dan terlibat insiden memalukan dengan seorang tentara yang kutemui di dekat pintu masuk pelabuhan sekitar satu tahun yang lalu, semenjak itulah aku tidak menyukainya. Bukan hanya tidak menyukai harinya, Aku bahkan tidak menyukai profesinya, seragamnya dan segalanya yang berhubungan dengan loreng dan hijau itu.

Aku bahkan tidak akan pernah mau mengingat apapun tentangnya, bagaimana rupanya, bagaimana suaranya atau—meskipun tercetak dengan jelas dipikiranku, nama yang tersemat di dada kanan seragamnya.

Bahkan jauh sebelum aku bertemu dengannya, aku bahkan sudah membenci mereka semua, karena satu alasan besar itu. Dan aku sangat-sangat berharap, ini adalah kali pertama dan terakhir aku melibatkan diri dengan orang-orang berseragam loreng sepertinya.

Aku, Arina Dhea Amanda. Mama, mas, dan semua teman-temanku memanggilku dengan panggilan Arin. Aku juga seorang mahasiswi fakultas psikologi di salah satu universitas favorit di kotaku. Aku juga mendapat julukan si ratu debat dari teman-temanku, mungkin karena setiap analisis dan pertanyaan yang diajukan oleh teman atau dosenku, aku selalu dapat menjawabnya, dengan benar tentu saja. Pun saat dimulai hingga berakhirnya sesi debat, aku tak akan pernah gentar dengan pendapatku.

Mungkin sebenarnya itu lebih bisa disebut dengan sifat keras kepala. Ya, anggap saja itu penyebabnya. Setiap orang punya pendapat yang berbeda bukan? Satu lagi, aku juga suka, bahkan sangat suka menganalisis sesuatu terutama bahasa tubuh dan mimik wajah seseorang, karena seorang pembohong hingga orang berwibawa yang jujur, dapat dengan mudah dikenali dengan dua hal tak terduga tersebut.

                                 ⚓

Rabu, 9 Agustus 2017

Sore itu, aku, mama dan kakak laki-lakiku pergi ke pelabuhan yang jaraknya sekitar 5,7 kilometer dari rumah. Kami pergi kesana untuk menjemput ibu dari mama, nenekku lebih tepatnya.

Diumur yang tidak bisa dibilang muda lagi, Ia masih cukup sehat dan baik-baik saja untuk menunggu berhari-hari di dalam kapal. Alasan mengapa ia lebih memilih kapal adalah karena nenekku tak tahan dan selalu mabuk ketika naik pesawat. Dalam sekali perjalanan, nenekku bisa muntah hingga empat kali dengan rentang waktu yang berdekatan. Tentu saja Ia merasa tak enak dengan penumpang lainnya dan tak ingin merepotkan pramugari disana.

Ya, nenekku adalah orang yang sangat menghargai orang lain dan sangat menjaga perasaan orang lain.

Jika dibandingkan denganku, tentu saja kami memiliki perbedaan yang sangat sangat jauh dan mencolok. Bagaikan bumi dengan langit. Bagaikan kapas dengan kulit buah naga. Bisa dibilang aku adalah tipe orang yang berbicara apa adanya. Bahkan sebagian temanku menganggap terlalu apa adanya hingga terkesan blak-blakan. Tapi semua orang yang sudah mengenalku dengan baik, pasti bisa menangkap maksud dari pernyataan kasarku yang tidak kusengaja.

Terkadang aku bahkan mengumpati orang lain ketika aku merasa jengkel dan marah. Tetapi itu semua masih dalam batas wajar. Walaupun nenekku pernah sekali mencubit dan mengomeliku habis-habisan karena hal itu.

"Mama pulang duluan aja ya, aku mau jalan-jalan sebentar, kaya biasa." Kataku meminta izin.

"Ya sudah, yang penting ingat pulang." Ujar mama mengizinkan. Setelah itu, aku juga berpamitan kepada saudara laki-lakiku satu-satunya  dan yang paling menjengkelkan di muka bumi ini, yang kupanggil dengan sebutan 'mas'. Aku tak berpamitan dengan nenekku karena begitu aku mengintip sedikit ke dalam mobil, rupanya ia sudah jatuh tertidur pulas dengan mulut yang sedikit menganga. Mungkin nenekku kelelahan.

"Dia sengaja mau lama-lama disini, ma. Biar dilirik sama angkatan laut." Sahut masku dari dalam mobil sambil menunjukkan seringai menyebalkannya yang tak jelas itu. Kemudian kubalas dengan tatapan memelotot dan tangan mengepal seperti akan meninju persendian rahangnya. Masku Rayhan, ia bahkan tahu betul betapa bencinya aku dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan tentara.

Aku sengaja mengendarai motorku dan tidak ikut satu mobil dengan mereka, karena terkadang, itulah salah satu kegiatan favoritku meski aku tak selalu melakukannya dengan rutin. Tapi begitu aku mendapatkan kesempatan emas untuk mendapatkan kartu bebas hambatan seorang diri seperti ini, aku pasti selalu mengusahakan untuk mengamati kegiatan orang-orang sekitar yang tak bisa aku lihat setiap harinya. Apa saja yang mereka kerjakan dan bagaimana cara mereka menunjukkannya. Semua itu kutulis di buku catatan yang selalu kubawa kemana saja yang tentunya juga muat di tas kecilku ini.

Bagaimana para penumpang yang lelah menunggu, ibu-ibu yang terlihat kesal saat kardus bawaannya akan diperiksa, hingga para calo yang berusaha keras menawarkan tiket dadakan super mahalnya itu. Mereka semua objek yang sangat menarik. Seorang psikolog memang harus menjadi pengamat yang baik, bukan?

Aku duduk di dekat pintu masuk pelabuhan sambil memegang buku catatanku, menjauhi area-area di sekitar kapal yang begitu sesak karena dipenuhi oleh para penumpang yang akan masuk maupun keluar kapal.

Aku menaruh buku catatan keramatku di sebelah es blender yang kubeli di kantin pelabuhan bersama wafer cokelat yang sedang kumakan sekarang, lalu aku merasa kursi yang kududuki agak berderit menandakan ada seseorang yang baru saja duduk disebelahku. Aku tak menoleh. Aku masih sibuk membaca pesan yang dikirim ke grup daringku.

Kemudian aku mendengar seseorang di sebelahku mengeluarkan suara, rupanya ia tengah menelepon. Aduh! Dia seorang lelaki. Tetapi, aku memutuskan untuk tetap tidak menoleh, berpura-pura untuk tidak melihatnya padahal telingaku sudah menjelajah seperti sudah menempel pada bahunya. Sampai pada akhir percakapannya, ia terdengar mengeluarkan suara, "Siap, ndan!". Aku tidak merasa aneh ataupun heran, karena memang banyak orang yang sering menggunakan kata-kata itu.

Lalu sedetik kemudian ia berdiri, dan tiba-tiba aku merasakan basah dan (dingin?) di celana bagian bokongku. Ya ampun, es-ku! Lelaki itu menyenggol es-ku dengan tasnya! Dan, yaampun! Buku catatanku, Demi Tuhan!

AKU MARAH! SANGAT- SANGAT MARAH!

                           

Satu Alasan [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang