Senja Arkarena

87 11 17
                                    

Senja.
Sinarnya yang berada pada garis terbarat cakrawala seakan tak ingin pergi tanpa kesan mendalam. Gradasi warna yang ada di langit begitu sempurna dan berujung dengan warna yang paling tua di bagian paling dekat dengan matahari.

Ah, andai kau bisa melihatnya. Setiap senja tidaklah sama. Warnanya terlalu istimewa. Tak akan kudeskripsipkan satupun untukmu. Tidak, aku ingin kau melihatnya sendiri. Disini, bersamaku.

Dermaga kayu tua di tepian pantai ini terasa sunyi, kamu tak ada. Bukankah bisik lirih mu itu mengatakan inilah tempat yang kamu inginkan?

Seiring redupnya mentari, sebuah harapan terbesit di kalbu. Semoga esok ketika mentari hadir, aku dapat melihat senyum hangatmu serta binar indah matamu.

Untuk pertama kalinya aku ingin suraiku berantakan karena usapanmu. Dingin kini membelaiku, tapi kamu tak datang. Lindu bergemuruh tak bisa menahan rindu.

Harapku kini sirna ditelan gelapnya malam. Meski mentari sudah kembali, sosok mu bahkan tak hadir walau hanya di mimpi.

Hatiku adalah wadah cintamu yang kini kosong sejak kau tinggalkan. Pemakaman cinta yang ku bangun sia sia. Sebab merdu dari detak jantung ku adalah namamu, serta wangi napas ku adalah dirimu.

Jika air mata ini keluar, kan ku salahkan hujan karena telah mengacaukan pengungsian sendu milik ku.

Aku membenci hujan. Ritikannya menyapa ku untuk mengenang mu. Suhunya mengusir rindu membekukan hati.

Kali ini hujan derasnya tak seberapa, tapi menyeluruh. Seperti dirimu, menyapa sejenak saja, tapi kenangannya tertinggal penuh.

Maafkan senja ini, ku umbar rinduku lagi.

Tidak seperti bintang di gemerlap malam. Rinduku antara ruang dan waktu. Matahari tak meniadakannya, bulan tak menutupinya.

Rinduku abadi, tidak seperti jingga di langit senja. Juga seperti meteor yang hanya sepintas, rinduku tak pernah tuntas.

Aku adalah senja yang kehilangan keindahannya.
Aku adalah matahari yang kehilangan cahayannya.
Aku adalah udara yang kehilangan oksigennya.
Aku adalah Kana yang kehilangan Gavennya.

Jantung ini berdegup kencang. Kau dapat mendengarnya? Bahkan setiap detakanya membawa luka untuk ku. Aku membenci kenyataan bahwa ini adalah jantung mu. Aku benci kenyataan kau bisa pertaruhkan segalanya sedangkan aku tidak. Aku membencimu Gaven.

                     Gaven Arkarena

                 Lahir  09 - 11 - 1999

                  Wafat 05 - 5 - 2019

Tanggal lima, bulan lima, dua ribu sembilan belas. Hari itu adalah hari yang kau janjikan. Seharusnya kita bertemu, saling menyapa, kau menyapa ku dan aku menyapa ku. Bukan seperti ini. Bukan hanya aku yang menyapa mu.

Mentari mulai menghilang. Semburat jingganya mewarnai langit senja. Meski malam menelan, tetap... harap ini masih bersemayam di dada.

Aku membuka kertas usang itu,  sudah berdebu di bagian atasnya dihitung sejak ku buka terakhir kali di tepi ranjang Gaven.

Ku rasakan hati yang kunjung menerima kepergiannya. Aku membenci sifat sok heroik mu itu, andai saja penyakit sialan ini tak pernah bersemayam di jantungku.

Kalimat pertama itu kembali menggugah hatiku, tulisan latin yang menurutku cukup rapi untuk seorang pemuda bandel seperti Gaven.

Remember. At 1 july 2016.

Selamat pagi Ana,

Ya, sapaan khusus itu kembali membuatku teringat tentang"kita" Gav.

Aku kembali membacanya, aku merindukanmu Gav mana pernah tidak?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 31, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Senja ArkarenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang