Hari ini di tahun lalu

3 0 0
                                    

Hari ini di tahun lalu...
Langkah yang semula terasa berat, perlahan mulai ringan. Senyum sumringahpun mulai bertengger di wajahku. Mungkin karena hari raya telah di depan mata. Tapi bukan karena itu, ada alasan yang lebih kuat dari pada itu. Karena di hari raya, aku akan bisa bertemu dengannya, bersembah sujud memohon ampunan serta ridhonya. Saat itu pula, akan kutunaikan semua kewajibanku sebagai seorang anak, menebus semua permintaannya yang tak sempat kutunaikan karena kewajibanku sebagai istri.

Hari ini di tahun lalu...
Tidurku hanya sekejap semalam, malamku terlalu sibuk mempersiapkan kue untuk hari raya. Ditemani suami, sesekali bercanda, tawaku ringan. Suara televisi ikut meramaikan, hingga suara Iwan Fals terdengar melantunkan lagu ibu, seketika aku ikut bersenandung bersama anganku yang tak lepas dari sosoknya.
"Bu, hanya dua hari lagi. Aku akan datang, menunaikan setiap permintaamu. Memandikanmu, menemani tidurmu, mendengar setiap keluh kesahmu, membelai setiap bagian tubuhmu yang terasa sakit, menggenggam erat tanganmu agar kau tak kesulitan mencari tanganku seperti waktu itu, tak akan kulepaskan genggaman tanganku. Aku di sini, untukmu."
"Bu, tunggu aku!"

Hari ini di tahun lalu...
Kesibukan membuatku mengesampingkan kewajiban, padahal jarum jam hampir sudah melewati angka 2.  Astagfirulloh, kebiasan buruk yang tak kunjung hilang. Lagi-lagi bukannya bergegas mengambil air wudhu, tangan ini justru lebih penasaran untuk mengecek handphone yang tadi berdering beberapa kali. Melihat nama kontak di panggilan tak terjawab, firasat buruk mulai muncul. Tanpa menunggu lama, kutelepon balik. Hanya di deringan kedua, teleponku terjawab. Bisa kudengar dengan jelas setiap kata dari suara di seberang sana, beriringan dengan  bayangan wajahnya di benakku. Telinga ini mulai mendengar suara jeritanku yang tak terkendali, begitupun dengan reflek tanganku melempar handphone. Aku tak peduli. Kenyataanya, dia tak lagi berada di dunia yang sama denganku.

Hari ini di tahun lalu...
Di depanku telah terbaring tubuhnya yang kaku, terbungkus kain kafan.
Dimana dirimu yang tiga hari lalu memelukku, menuntun tanganku untuk menyentuh setiap bagian tubuhmu yang kesakitan, mencari tanganku saat sebentar saja kulepas genggamannya, menceritakan semua keluh kesah akan penyakitmu yang tak kunjung sembuh, dan dirimu yang memohon, menangis, memintaku untuk mengurusmu. Dimana dirimu yang hari itu seperti anak kecil yang ingin dimanjakan.
Kenapa? Kenapa kau hanya diam saja? Marahi aku! Dan beri aku satu kesempatan untuk mewujudkan keinginanmu, untuk menebus dosaku.
Jangan biarkan seumur hidupku, aku mengingat perpisahan terakhir kita, kau melepasku dengan air mata.
"Bu, kenapa kau tak menungguku?"

Hari ini di tahun lalu...
Perasaanku bercampur aduk, antara sakit, kecewa, dan juga marah.
Sakit, karena kehilangannya yang amat dalam. Jika sesakit ini rasanya kehilangan, lalu sebesar apa sakit yang dirasakannya 23 tahun lalu saat kehilangan suaminya sehari setelah melahirkanku?
"Bu, aku tak setegar dirimu."
Kecewa, pada diri sendiri yang tak mampu mewujudkan keinginan terakhirnya.
"Bu, masih adakah maafmu untukku?"
Marah pada takdir, pada keadaan yang memisahkanku dari satu-satunya sumber kehidupanku. Tapi, apa hakku? Di bumi ini hakku hanya untuk hidup, bukan mengatur kehidupan.

Hari ini di tahun lalu...
Langkahku berat, mengiringi kepulangannya ke peristirahatan terakhir. Dia di sana bersama seseorang yang tak pernah ia khianati sedetikpun.
"Bu, ini berat untukku. Tapi setidaknya aku tak perlu lagi melihatmu kesakitan. Di sana kau akan mendapatkan obat dari setiap rasa sakitmu dulu. Di sana pula kau akan mendapatkan hadiah yang telah Tuhan janjikan, buah dari kesabaranmu selama ini."
"Bu, aku akan belajar ikhlas melepasmu. Tolong sertai setiap langkahku dengan ridhomu, selalu."

Tepat di hari ini...
Bagaimana di sana? Sepertinya kau telah mendapatkan kebahagiaan di sana, hingga melupakanku. Tidakkah kau merindukanku?
Tahukan kau, kenangan tentangmu masih kerap singgah dalam ingatan. Senyummu, tawamu, bahkan caramu marah masih kuingat dengan jelas. Aku ikhlas melepasmu, tapi jangan paksa aku melepas kenangan tentangmu.
"Bu, aku rindu. Bantu aku untuk meminta pada Tuhan, agar kelak kita dapat dipertemukan kembali."

28 Ramadhan 1440

Hari ini di tahun laluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang