Nostalgia

10 2 0
                                    


Ia terus menengadahkan wajahnya sebari menatap langit yang nampak sedang bersedih itu. Awan hitam pelahan-lahan menjatuhkan rintiknya, sejalan dengan menetesnya bulir-bulir bening sebening kristal dari kedua kelopak Anggia. Ia tidak tahu entah kenapa ia terus menangis, yang jelas hatinya saat ini terasa porak-poranda melihat satu persatu tempat yang memberinya jutaan, bahkan puluhan juta kenagan itu.

Ini adalah kali pertama Anggia kembali ke tempat ini. Setelah kejadian beberapa tahun silam itu.
Masa dimana ketika hatinya benar-benar terasa hancur, oh bukan lagi hancur tapi mungkin sudah melebur. Ia selalu saja merasa malu setiap kali mendengar nama tempat ini di sebutkan, bahkan sering kali ia merasa harga dirinya ternodai setiap saat menegenang tempat ini. Karena, ini adalah tempat dimana dia dan Roy berjanji untuk selalu bersama.

Sekaligus tempat dimana ia harus di tinggal pergi oleh sang pemilik sepotong hatinya itu, yang pergi meninggalkannya 3 hari sebelum pernikahan mereka.

* * *

"Aku merindukannya lebih dalam di banding rasa benciku ini.

Aku menghawatirkannya puluhan kali di banding rasa kecewa yang ia berikan
kepadaku ini.

Aku merasa bernostagia dalam keadaan gila.

Bagaimana tidak, aku tertawa dan menangis sebagaiman orang gila melakukannya
secara bersamaan.

Karena yang aku tahu hanya satu
Aku terlalu mencintaimu, Roy"

~Anggia

* * *

Pelangi yang tampak malu-malu itu keluar secara perlahan. Membenamkan serba-serbi indah warnanya, yang bergelantungan di antara kilau birunya langit sore itu. Bunga-bunga yang cantik itu pun mulai bermekaran, ia bahkan nampak seperti sedang tersenyum.

Tidak peduli seberapa bayak tetes hujan yang menerpa tubuh mungilnya itu. Sore ini tak seburuk sore 2 hari kemarin yang terus diguyur hujan amat lebat. Entah apakah hujan itu sudah mulai bosan, atau mungkin malah awan-awan itu yang kini berbahagia. Yang jelasnya, Matahari yang sejak 2 hari yang lalu selalu tertutupi awan gelap itu kini sudah dapat memancarkan sinarnya lagi.

Aku berjalan dan terus berjalan di sekitar trotoar. Entahlah aku tidak tahu lagi kemana, dan tempat apa lagi yang akan aku tuju nanti. Keindahan daerah puncak yang dulunya selalu menggetarkan jiwaku untuk selalu berpetualang kini hilang ditelan masa. Gairahku ketika melihat sederet barisan pohon pinus yang menjulang tinggi pun kini tak ada lagi. Semuanya telah menghilang, sejalan dengan menghilangnya sebagian, sepotong, separuh, bahkan mungkin seutuhnya hatiku.

Kakiku kini mulai merasa lelah. Namun, jiwaku masih terasa enggan untuk berhenti. Tempat ini terlalu banyak menyimpan kenangan, kenangan yang membuatku selalu enggan untuk bernostagia. Namun sebenci apapun diriku, selelah apapun hatiku menatap tempat-tempat ini. Aku tetap tak bisa membantah lagi bahwa, kaki mungilku ini membutuhkan sedikit istirahat, agar ia bisa lebih kuat lagi berjalan sejauh mungkin.

Kuputar kepalaku, menengok ke kiri dan ke kanan berharap aku menemukan sebuah bangku yang mungkin dapat aku tempati ber istirahat. Dan benar saja, aku menemukannya. Sebuah bangku bercat merah yang nampak masih kosong. Kupercepat langkahku yang kini terasa berat. Dengan nafas yang tersenggal-senggal ku rebahkan sedikit tubuhku pada sandaran bangku besi ini. Aku mengatupkan kedua kelopak mataku yang terasa mengantuk ini secara perlahan.

Namun, baru sekian detik sebuah suara mengagetkanku.

"Hai, permisi !" Sapanya sebari mejulurkan sebotol air mineral tepat di depan wajahku.

"Hai,, Ambillah, sepertinya kamu kehausan" tegurnya kemudian. Aku segera meraih sebotol air mineral yang ia julurkan tadi. Tanpa berfikir panjang, kuhabiskan sebotol air mineral itu tanpa menyisahkan setetespun air.

Kumpulan Cerita Pendek Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang