pukul empat lewat satu menit pagi.

243 42 15
                                    

Terhitung minimal lima kali dalam seminggu aku mendapat panggilan dari nomor yang sama dengan suara yang berbeda-beda. Hari pertama bisa lelaki beraksen Britania Raya kental, hari kedua bisa campuran Meksiko, hari ketiga suara wanita yang mengeluh (karena orang yang ia ingin servis tak sadarkan diri), hari keempat bisa beraksen Jepang, hari kelima biasanya langganan klub malam yang cukup berkata,

"Jules, cowokmu sekarat sepertinya."

Lalu samar-samar terdengar, "Jules hanya panggilan dariku, bangsat! Panggil dia Julie."

Jimin, bartendernya, visualisasi balasannya setelah ini pasti tidak jauh-jauh dari memutar bola mata sarkastik. "Terserah, jemput Hoseok, ya."

Jadi, katakanlah telpon pagi ini merupakan telpon pertama (dalam dua bulan terakhir) suara pemilik aslinya muncul di sambungan. Aku tidak terkejut sama sekali, tidak ada yang harus dirayakan atau apa, karena Jung Hoseok saat ini masih aku lihat sebagai beban.

Tapi aku tetap mengendarai mobil sedan butut milikku untuk menjemputnya di Lacostè, sebuah klub malam yang tidak jauh dari bangunan apartemen yang aku tinggali.

Sampai di tempat yang persis di tuju, bebanku tengah menguyup cairan oranye, duduk di kursi dekat bar, rambut semerawut tak tahu tempat, punggung yang membungkuk, kepala menunduk seraya ia mengalungi kalung emas lima kilogram. Suara sepatuku tidak membuat suara saat melangkah, hanya decitan kursi yang membuatnya menoleh penuh ke arahku; berbagi wajah kusut dan mata kuyunya kepadaku.

"Aku tebak sepertinya kau salahgunakan debitmu untuk menyewa Lacostè." sahutku.

Dia terkekeh dan mengangkat kepalanya perlahan, "Jules, ingat tadi di telpon aku bilang apa?"

"Kau pikir aku apa? Nenek-nenek?"

"Jules," Rasanya ia setengah mabuk dan setengah sadar, antara meracau atau tidak sengaja memuncratkan kebenaran, "Lusa lalu, aku tidak sengaja mengikutinya ke suatu tempat----ke rumah sakit, aku penasaran, tapi dia tak lewat seksi kandungan dan anak, tetapi ke sebuah ruangan rawat inap." Hoseok tertawa kecil, "Aku minta cek siapa nama pasiennya dan itu ... itu ibunya. Ibunya sakit, hutangnya menumpuk, dan dia hamil."

Menyusupkan ke lima jariku untuk menyisir suraiku, aku membalas dengan nada rendah. "Hoseok, dengar, aku tidak mau dengar omong kosongmu sekarang, kepalaku pusing dengan kasus yang menumpuk, ayo pulang, kau butuh tidur—"

"We talked about this, right? She's taking the option, no marriage, I'll take the responsibility, we keep the child. It choked me so hard that I'm getting worse, I felt way worse after I found out her crisis, Jules, I fucked up in so many levels, and I wanted it to stop reaching another highest level."

Pukul empat lewat satu menit, kami saling bersitatap dengan pikiran yang meledak bagai petasan tahun baru.

---

ini lanjutan di prolog (sebelum jam 04:01 a.m) ya :)

hey julesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang