Kejadian tiga tahun lalu itu membuatku menjadi wanita yang tidak ada harganya lagi. Perasaanku hancur lumat. Patah hati yang kurasakan ini benar-benar membuat duniaku hancur. Aku sering terisak bahkan sering meledak ketika sedang sendiri di kamar. Aku sering tidak masuk kerja. Tiada hari tanpa murung. Ketika ada orang yang bertanya, aku memilih untuk bungkam.
Aku menarik nafas panjang, lalu mengambil tisu yang sedari tadi sudah ada di depanku. Kotak tisunya ternyata hampir kosong. Sudah banyak tisu yang telah basa oleh air mataku. Kejadian tiga tahun lalu itu ternyata awal kesedihanku. Finn menghilang dari kehidupanku. Ternyata dia menikah dengan seorang wanita kaya raya. Hatiku hancur seperti dicabik-cabik. Hidupku berantakan.
Kejadian itu membuatku mengidap philophobia. Ya philophobia. Orang yang memiliki rasa takut berlebihan pada sesuatu yang berhubungan dengan cinta. Aku takut jatuh cinta, lebih tepatnya takut sakit hati untuk yang kedua kalinya. Kebanyakan orang akan berbahagia karena cinta tetapi tidak denganku. Saat ini, cinta adalah monster bagiku yang siap membunuh dan mencabikku tanpa ampun. Itu sebabnya, hingga kini aku memilih menjaga jarak pada pria lebih tepatnya tidak mencintai dan dicintai. Aku memutuskan untuk mengubur dalam-dalam rasa suka pada seorang pria.
Trauma pengalaman percintaan di masa lalu dengan lelaki pengkhianat itu, membuatku sering sulit bernapas normal. Tak kusangka pria itu sanggup melakukan ini padaku. Aku begitu mencintainya. Bahkan aku rela memberikan keperawanaanku padanya. Ini terlalu menyedihkan. Sepertinya akulah wanita yang paling menderita di bumi ini. Sakit hati ini sangat sulit untuk sembuh. Sangat membekas. Sangat sakit. Tanpa sadar air mataku mengalir deras. Terisak-isak. Orang - orang di kafe heran melihatku.
Kopi yang sedari tadi di mejaku tak kuminum bahkan tak kusentuh. Asap yang mengepul dari kopi pun sudah tak ada lagi.
Aku menghembus napas berat, lalu mengedarkan pandanganku ke pintu masuk kafe. Malam ini kafe sangat ramai pengunjung. Ada seorang pria masuk. Aku lamat-lamat menatapnya. Pria itu langsung menemui barista hendak memesan. Tampaknya pria itu kebingungan mencari tempat duduk. Hanya ada satu kursi kosong yang tersisa yaitu kursi yang berada tepat di depanku. Kulihat pria itu datang mendekat ke arahku. Sepertinya ia akan duduk dan semeja denganku."Permisi nona, apakah kursi ini kosong?" tanyanya ramah.
Aku hanya terdiam tertunduk sambil membaca buku di tanganku.
"Permisi nona, sepertinya kursi ini kosong. Apakah saya boleh duduk di sini ?" tanyanya dengan nada sedikit lebih tinggi.
"Boleh." jawabku ketus.
Pria itu menikmati kopinya. Beberapa kali aku mencuri-curi pandang ke arahnya namun, menghindari melihat langsung ke matanya.
Tanpa sengaja aku melihat wajah pria itu. Aku terperanjat.
"Astaga pria ini."
Seketika keringatku bercucuran, detak jantungku semakin cepat. Darahku seolah mengalir deras dalam tubuhku. Aku tak dapat mengontrol diriku.
Kopi yang sudah tidak hangat tadi kutelan dalam sekali tegukan.
Pria itu mirip sekali dengan Finn. Bayang-bayang Finn seketika mampir dalam otakku.
"Apakah dia Finn?" tanyaku dalam hati.
"Ya Tuhan, ada apa ini?"
Kucoba untuk tenang namun sulit. Aku panik.
Segera kubereskan barang-barangku namun semua berhamburan di lantai. Tanganku gemetaran. Pria di depanku merasa heran dengan tingkahku.
Aku bergerak cepat memungut barang-barangku namun sekali lagi semua barang-barang itu berhamburan memancing perhatian orang-orang.
'Sial!" gumamku.
Kucoba tenang mengambil barang-barang itu lantas berlari keluar dengan perasaan yang sangat kacau. Orang - orang di kafe menatapku aneh.-Tamat-
Terima kasih telah membaca. Semoga suka.
Jangan lupa vote dan komen ya 😁
KAMU SEDANG MEMBACA
Philophobia
Short StorySebagai rasa terima kasihku, kubiarkan Finn membelai tubuhku. Aku percaya Finn adalah lelaki yang bertanggung jawab. Lagipula tadi dia sudah memberi cincin padaku sebagai bukti cintanya. Kami akan segera menikah.