Bagian 5

66 10 0
                                    

Hail POV

Prang!

Suara itu menyita perhatian kami seketika, kaca jendela mobil Yasa berhasil dipecahkan. Yasa mulai panik ketika melihat kedua anak buah Glafira tengah mengeluarkan Misora dari sana. Dia sedikit lengah hingga memberi kesempatan bagi Glafira untuk menebas bahunya.

Yasa berbalik lagi karena kesal. Dia memutuskan untuk menghadapi Glafira dengan serius, berusaha membereskan kami secepat yang bisa agar bisa mengejar dua orang yang telah membawa lari sanderanya. Yasa melayangkan tinju kirinya, di saat yang sama mengayunkan pisau kanan mengincar kepala Glafira dari dua arah. Untungnya Glafira bisa menahan pisau itu dengan bilah pedangnya, dan dengan tangan lain menusuk perut Yasa ketika ia menerima tinju itu.

Sayangnya luka tusukan itu tak terlalu dalam, mungkin hanya masuk sekitar satu sentimeter saja. Karena Yasa sempat melengkungkan tubuhnya ke belakang saat pedang Glafira tertuju padanya. Sungguh tubuh yang lentur, gerakan yang cepat dan tindakan yang tenang.

Aku tak bisa lagi berlama-lama membiarkan Glafira mengurusnya sendirian. Ketika aku telah selesai menutup luka di lenganku, aku segera kembali ke posisiku. Menyerang dari belakang, mengincar kepalanya. Siapa yang peduli soal cara licik dan kecurangan di sini? Selama bisa menang, tak masalah apa pun caranya.

Belakang kepala Yasa berdarah akibat pukulan keras dariku. Ia menoleh, dengan cepat menendang perutku hingga aku terhempas lagi. Termundur beberapa langkah, dan di saat itulah ia mendekatiku dengan cepat. Senyum di wajahnya amat mengancam, dengan gerakan tangan yang gesit di arahkan ke mataku.

Sedikit lagi aku hampir buta. Terima kasih pada Glafira, wanita itu dengan cepat membaca gerakan Yasa. Ia telah lebih dulu mengunci leher Yasa dari belakang, menariknya menjauh dariku. Sayangnya, Glafifa harus melepaskan kedua pedangnya untuk mempertahankan kuncian itu. Hingga membuat pertahannya melemah, Yasa pastinya mempergunakan kesempatan itu untuk menusuk tangan Glafira. Kuncian itu lepas. Yasa tertawa dengan keras, mengusap bilah pisaunya yang kini di penuhi oleh darah kami berdua.

Glafira mundur, berpindah ke sampingku. "Kita kabur," bisiknya, memberi perintah.

Aku mengangguk sebagai balasan, berpura-pura lari ke arah Yasa untuk menyerangnya. Dan ketika ia mengelak ke samping, aku berguling ke tanah. Mengambil kedua pedang Glafira yang terletak di tanah, lalu lari ke arah berlawanan dengan Yasa untuk mengambil kuda Glafira.

Di saat Yasa sadar akan pergerakanku, ia berbalik melihat ke arah Glafira yang telah lebih dulu kabur dengan menggunakan kudaku. Kami mengambil rute pelarian yang berbeda, membuat Yasa bingung harus mengejar yang mana dan kenyataan kalau mobilnya rusak juga tak membantu. Dia harus menunggu seseorang datang menolongnya atau jalan kaki menuju pom bensin yang terletak dua kilometer dari sana.

Dengan itu, kami berhasil meloloskan diri. Tentunya dengan memastikan tak ada bukti yang tertinggal agar bisa digunakan untuk menyalahkan kami nantinya.

***

Satu jam kemudian, kami berkumpul di sebuah pondok di tepian kota. Mengambil Misora dari dua orang laki-laki itu. Setelah membayar mereka, Glafira melepaskan kuda yang kami pakai ke hutan di dekat sana. Menggantinya dengan mobil lain yang sudah di siapkan dari kemarin.

"Kau membayarnya? Bukannya itu anak buahmu?" tanyaku bingung, kenapa dia harus membayar mereka.

"Dasar bodoh. Aku tak mungkin menggunakan orang Ghea, mereka orang bayaran," jawab Glafira ketus. Suasana hatinya sangat buruk setelah terluka, dia duduk di kursi belakang sendirian dengan muka jutek. Sedangkan aku menyetir dan Misora duduk dengan diam di sebelahku. Tak berani berbicara saat melihat kami berdua terluka dan terlihat sangat tak senang dengan itu.

Menanti Mentari [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang