Gula Merah dan TEMAN

152 12 1
                                    

Menjadilah teman yang baik,
Semampu kita menjaga, memberi, dan mengindahkannya.
Soal balasan dari itu semua, kita harus menerima. Apapun itu.

Prakoso—teman sebaya. Pernah berkata; “Sebaik-baiknya teman, lebih baik celotehan emak” perkataan ini terus berdiam dipikiran. Aku mencoba menyimpulkan bahwa tidak ada teman yang baik, sebaik-baiknya teman ia akan mencari teman lain untuk membicarakan kita.

Aku Lysa, duduk dikelas 9.  Terlahir sebagai orang Jawa, keluarga tak begitu mapan, serta pertemanan yang itu-itu saja. Terlahir memiliki kulit tubuh yang tidak cerah, pipi semakin melebar, mata Jawa dan suara cempreng mendayu. Kata laki-laki senyumku memukau, setidaknya membuat mereka adem. Aku senang disanjung. Dan orang-orang senang menyebut ku “Gula Jawa”.

Rabu, 07:08 WIB. Setibanya disekolah aku langsung menuju lapangan tanpa menaruh tas dikelas untuk melakukan rutinitas Literasi sebelum KBM (kegiatan belajar mengajar), aku bergegas mencari posisi duduk, puluhan pasang mata tertuju pada kedatangan ku. Dengan raut muka setengah panik aku mencoba tenang tidak menghiraukan puluhan pasangan mata tersebut. Tak lama nama ku dipanggil oleh guru yang bertugas memimpin literasi, aku maju dengan langkah kecil karna rok—Span, yang begitu ketat membuat jalan melenggak seperti model. “Lysa semangat!” teriak salah satu anak laki dengan rambut klimis dan jerawat dipipi. Aku hanya menoleh diikuti senyum sekedarnya.

Novel berjudul Let Go karya Puspitadewi saya dekap dengan tangan kanan. Tanpa kompromi guru tersebut menyuruh menjelaskan kenapa aku bisa telat datang kesekolah—aku pikir akan menjelaskan novel yang sudah ku baca tadi malam ini. Bangun kesiangan menjadi alasan klasik jika ada seorang siswa telat. Akupun menjawab itu, kenyataannya memang benar. Semalaman aku menyelesaikan novel tersebut.

*** Sebelum Berangkat Sekolah ***

Celotehan Ibu menyambut pagiku “Lysaaaaaaaa,,, udah jam berapa ini!! Kamu yaa punya kuping disumpel apa sih!!”. Sambil memukulkan gagang sapu ke pintu kamar dengan lantang, Aku masih diambang mimpi, tapi kata-kata ibu tersebut masuk dibagian mimpiku, tak lama aku terbangun. “Iya bu aku bangun” sambil duduk aku senderkan kepala ditembok serta mata masih susah diajak kompromi. “Cepet mandi, sekolah!” ibu pergi meninggalkan kamar. Aku segera keluar kamar bergegas menuju kamar mandi.
Selepas mandi aku bertemu ibu dimeja makan. “kamu bawa bekal aja ya, kalau makan disini telat nanti” kata ibu sambil menyuapi makan ade. “Yaudah ibu siapin aja aku mau pakean dulu” sambil melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 06:34 WIB, perjalanan dari rumah kesekolah memakan waktu ± 15 menit. Aku belum pakai sepatu, mengeringkan rambut.
Motor telah di panasakan siap mengantar aku dan adik. Ayah hanya sibuk dengan berita pagi di televisi sambil mengkerutkan matanya dan sedikit mencodongkan kepalanya. Aku tak mau menjelaskan detail ayah itu seperti apa, intinya ayah adalah makhluk sempurna bagiku.  

***

Setelah menjelaskan kenapa datang kesiangan, aku meminta izin kepada guru tersebut untuk menjelaskan novel yang sudah aku pegang ini. Dan dibolehkan dengan senang hati katanya. Bukan pertamakali, sudah berkali-kali aku berdiri disini, dihadapan ratusan teman-teman dan ditonton guru-guru. Jadi aku biasa saja dan justru ketagihan. 
Aku mulai berbicara, begini kataku; “Dalam Novel ini peran utama adalah Caraka—dipanggil Raka.  Ia sering kali ikut campur urusan temannya, apapun itu. Sampai-sampai teman wanitanya pada suka sama Raka, padahal Raka hanya mencoba mebantu teman-temannya tidak ada maksud untuk nge-baperin. Membantu dengan mendengar curhatan sampai memberi masukkan. Wajar saja teman-teman wanitanya pada suka sama Raka, setiap curhat padanya selalu berakhir jalan keluar yang indah, sampai pada titik suka padanya.  Raka mencoba menjauh menjaga rasa dengan meninggalkan luka pada temannya dan membuat nama Raka tidak baik dimata teman-teman lainnya. Terkadang kebaikan adasaja yang mensalahartikan, kebaikkan tidak semua berujung dengan baik, begitulah hidup. Sampai Raka menemukan yang ia anggap terbaik yaitu Nathan, yang berujung tidak menyenangkan karena Nathan harus pergi untuk selamanya akibat penyakit Tumor. Bagi Raka hal yang terberat adalah kehilangan. Manusia harus merasakan datang dan pergi.” Sengaja aku tidak menyimpulkan makna dari novel ini. Aku pikir para pendengar sudah paham betul apa yang ku bicarakan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 02, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TEMAN; cerita-cerita dibaliknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang