EXTRA PART: Aroma Musim Semi (bagian 8)

1.9K 105 4
                                    

Guyuran shower pada akhirnya berhasil mendinginkan kepalaku yang memanas sejak membuka mata tadi. Aku terbangun dengan degup yang tak beraturan, terengah-engah dan sesak. Mimpi yang menakutkan. Benar-benar menakutkan. Desah Andalusia nampak nyata, berdengung layaknya nyamuk jantan yang berputar-putar di telinga.

Dalam keadaan linglung dan nyawa yang baru setengah, lesat aku bangun dari tempat tidur dan melepas semua baju, melemparnya serampangan lalu menyalakan shower tergesa-gesa. Titik demi titik air menimpa wajah yang menengadah, mengalir turun ke kepala, leher, bahu, punggungaku menggigil karena terlalu pagi untuk mandijatuh ke ubin kamar mandi, berputar-putar sejenak lalu hilang masuk ke dalam lubang pembuangan, meluruhkan segala hal kotor yang melekat di tubuh; kepalaku yang hina, rasa inginku yang kurang ajar, mimpiku yang mengerikan. Semuanya.

Semuanya ....

Namun, meskipun seluruh tubuh telah kuyup dan air dingin mengguyur demikian deras, wajah birahi Andalusia tidak bisa hilang. Seolah-olah, bayangan itu melekat erat di kelopak mata.

Aku menjadi merasa bersalah. Dan sedih.

***

Juna mengurung diri di kamar, tak seorang pun diizinkannya masuk. Walaupun beberapa kali Mama Linggar mengetuk pintu dan memohon, bocah manja itu tidak menghiraukannya.

Mama Linggar turun dari lantai dua dengan wajah putus asa dan pasrah. Dia menggeleng kepadaku sambil memegang kepala. Melihat keadaan tak terduga di pagi ini, aku sedikit merasa bersyukur. Setidaknya, untuk sementara, aku tak butuh alasan untuk bisa menghindari Juna, karena setelah kejadian semalam, aku dan Juna sama-sama merasa tidak ingin duduk dalam satu mobil dan terdiam sepanjang perjalanan menuju sekolah, saling membuang muka dan tekun menatapi segala yang melintas dari balik kaca masing-masing--walaupun setiap hari seperti itu, tapi kali ini lebih menyesakkan tentu saja.

"Aku berangkat dulu, Ma," ujarku sambil merengkuh Mama Linggar dan melayangkan kecupan di kedua pipinya. Wanita yang pagi ini masih mengenakan piyama sutra berwarna tosca muda itu mengecup keningku.

"Lupakan anak itu," ucapnya, "aku akan menanganinya nanti."

Aku mengulas senyum, membelai punggung Mama Linggar dengan lembut. Setelah tiga kali usapan, aku melepaskan pelukan lalu beranjak. Melambaikan tangan dan meninggalkan wanita yang wajahnya masih diselimuti rasa khawatir itu.

***

Mobil keluarga yang dikendarai Pak Heru berhenti sedikit lebih jauh dari pintu gerbang sekolah. Aku meraih knop pintu, tapi tiba-tiba ponsel di saku celana bergetar. Sesuah denting pesan singkat dari nomor yang tak dikenal. Aku mengerutkan dahi.

[Jangan bolos lagi di jam pertama, kau tahu. Aku akan mengecekmu di atap sekolah setelah bel berbunyi nanti.]

Andalusia ....

Dadaku terpacu semakin cepat. Bayangan wajahnya di dalam mimpi melesat seketika dan itu membuat wajahku memanas.

"Anda tidak turun, Tuan Muda?" tanya Pak Heru yang menolehkan kepala ke belakang. Mungkin lelaki itu mulai merasa aneh.

Cepat-cepat kulesakkan ponsel ke saku celana. 'Ah, iya. Sori, Pak," jawabku sambil menarik knop pintu mobil dan menurunkan kaki. Aku belum sempat menyimpan nomor Andalusia, tapi bukan itu yang menjadi masalah. Aku memikirkan, entah bagaimana reaksiku nanti ketika bertemu dengan wanita itu.

"Hei! Kamu di sini rupanya. Baru datang, ya?"

Senyum Andalusia menyambut begitu aku keluar mobil. Seketika dadaku meledak. Benar-benar meledak. Berhamburan dan pecah-pecah. Aku kelabakan dan salah tingkah, yang pada akhirnya membuatku lebih memilih menunduk daripada menatap matanya.

FAITH: My Second Marriage (Buku Ready)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang