BAB 5 : Jawa Timur

173 27 27
                                    

Perjalanan panjang membawaku ke Kota Malang, tepatnya di rumah Budhe Sinta. Ijab kabul dipernikahan Mas Fariz telah berlangsung. Kini akan memasuki acara pesta resepsi pernikahan.

Pesta berkonsep minimalis garden dihiasi bunga-bunga dengan background tirai putih. Halaman rumah dengan rumput hijau nan luas, sangat mendukung konsep pernikahan ini. Tak bisa dielakkan rumah budhe di Malang merupakan dataran tinggi, sehingaa udara yang sejuk mampu menambah kesan tropis pada konsep kali ini.

Mengingat tema pesta minimalis garden aku tak ambil pusing untuk memakai pakaian. Kukenakan rok dengan potongan di bawah lutut dan berenda manik-manik senada. Untuk atasan kukenakan blouse crop merah mengilap dengan lengan tiga per empat yang kugulung dua kali. Tak lupa untuk menambah kesan santai, aku memakai sneaker berwarna putih polos.

Rambutku yang lurus, kuikat tinggi-tinggi dan kuselipkan bando polkadot merah putih. Terlihat sedikit monoton, tapi sekali lagi, aku hanya ingin terlihat santai dipesta berkonsep minimalis garden.

Beda dengan gadis seumuranku yang sedang duduk di sampingku. Namanya Fani, sepupuku yang tinggal di Surabaya. Rambutnya dibuat tergerai menyamping. Gaun magenta menyala tanpa lengan, menunjukan kesan feminim yang kuat.

"Ellena, Fani. Kalian makan ya, sudah jam dua siang," titah Budhe Sinta.

Aku dan Fani saling bertatap mata lalu mengangguk dan spontan berdiri berasama. Kami langsung melenggang menuju meja dengan berbagai hidangan khas Malang. Kuambil sedikit nasi dan semangkuk kecil makanan khas Malang yang menjadi favoritku ketika berkunjung ke sini. Ya, rawon. Sebuah sup daging sapi yang disajikan dengan kuah hitam dan potongan telur asin.

Masih belum puas dengan laukku, kulirik-lirik ke permukaan meja dan kuambil empat butir bakso bakar. Cukup. Kurasa ini sudah cukup untuk mengganjal perut disiang hari. Meskipun masih banyak makanan yang belum aku ambil yang aku sendiri tidak tahu namanya.

Tak sadar ternyata Fani sudah duduk terlebih dahulu di meja bertaplak putih. Kurasa dia sedang menungguku, makanan di depannya masih menganggur.

"Maaf lama," aku segera duduk di hadapan Fani.

"Enggak."

"Hanya semangkuk bakso?" Aku bertanya sambil mendongak ke bakso milik Fani yang dipenuhi sambal.

"Iya, aku sudah terbiasa makan rawon dan sekarang aku pilih bakso, lihat sambalku."

"Aku bahkan ngilu melihatnya, Fan."

Aku heran, dari kapan Fani suka sambal. Terakhir ketemu satu tahun yang lalu, dia biasa saja dengan sambal. Tidak gila seperti sekarang.

"Makanlah. Kalau selesai jangan lupa ambil es durian dempo. Itu favoritku."

Aku mengangguk lalu mulai menyuapkan nasi, diteruskan dengan rawon dan bakso bakar. Begitu juga Fani, sesekali aku tertawa melihat ekspresinya yang memelas karena kepedasan. Diakhir suapan matanya sudah basah.

Disisi lain, aku sangat menikmati rawonku. Rasa gurih menjalar di sekujur lidah. Hingga pada suapan terakhir, nasi serta laukku bersih lides yang kini hanya menyisakan sendok di atas permukaan piring. Pada hidangan terakhir kututup dengan segelas es durian dempo.

"Oh iya. Nanti malam aku ajak kamu ke Batu Night Spectacular," Fani membuka pembicaraan sambil menikmati es favoritnya.

"Di Kota Batu?" Tanyaku.

Fani mengangguk. "Tenang aku udah izin ke ibu kamu."

Aku mengangguk tanda mengiyakan.

Ide yang bagus, katakan saja ini 'liburan' sebelum masuk kampus. Semoga nasib baik mengelilingiku. Atau jangan-jangan akan diburu jambret? Penodong? Atau psikopat lagi mungkin? Oh, tidak! Jangan berpikir seperti itu dulu.

SemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang