pukul setengah dua dini hari.

246 43 12
                                    

Malam selalu menjadi pekerjaan terberat untukku. Terjebak dalam pemikiran suram lantas terjebak lagi dalam jebakan pikiran yang otak ini buat. Rasanya jaringan di otakku telah sampai menuju poin dimana akan mendorong kakiku hingga terhempas jatuh ke tanah. Dramatis, aku tahu. Tapi hei, kalian tidak lihat otakku tengah menjebakku? Dia dalam misinya membuat aku terlihat bodoh melalui tulisan ini.

Aku benci kafein. Aku tidak bisa minum anggur kalau sedang dalam kondisi ini. Aku benci di ganggu sekarang. Aku harap ketukan pintu sialan itu bisa hilang sekarang juga.

"Fuck, Hoseok? What the fuck are you doing here?"

Ini jam setengah dua pagi demi Tuhan dan bau alkoholnya menyeruak saat aku terpaksa menerima pelukannnya, entah dia sengaja atau benar hilang kesadaran di ambang pintu apartemenku, yang jelas dia berat sekali dan rasanya aku mau muntah.

Hoseok, surprisingly, menjauhkan diri saat aku baru saja ingin menyeretnya menuju sofa ruang tengah. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya hingga dia berani untuk datang ke apartemenku dalam keadaan berantakan seperti ini, tapi aku pernah mengatakan bukan kalau otaknya terlihat lebih waras daripada dia sedang sadar? Jadi, ya, dia berjalan---meski sempoyongan sedikit---dan duduk di sofa, kepalanya mengadah ke langit-langit bersamaan punggungnya menyender di sofa. Aku menghampirinya dan baru sadar kalau bajingan sialan ini masih saja bisa terlihat bergaya dalam keadaan mabuk sekalipun, lihat bagaimana kacamata biru beningnya masih bertengger di batang hidungnya, kalung berliontin batu biru (tidak yakin jenis batunya apa, yang pasti itu berkilap), dan tiga kancing teratas kemejanya terbuka dibalut dengan jas hitam kasualnya. Okay, he's a hot mess. Tidak bisa bohong.

Bibirnya menyeringai saat aku hanya ikut duduk disampingnya dan memperhatikan lekuk wajahnya yang mengadah ke atas, aku bukannya menganguminya, ini sedang menunggu si tolol untuk menyadari apa yang ia telah perbuat dan harap besar untuk menjelaskannya kepadaku, sedetail mungkin.

"Aku merindukanmu."

"Bangsat," ujarku tanpa ekspresi, "Apa yang kau telah perbuat?"

"Jules, boleh peluk?"

"Hoseok."

"Jules, aku mohon? Aku mohon?" rengeknya, matanya terlihat jelas sekali berair meski ada kacamata yang menutupinya, "Jules, I fucked up."

Mengatasi kejanggalan diriku dengan melepas kacamata yang malah membuatnya terlihat lebih menyedihkan dan membuangnya ke sembarang arah, aku melanjutkannya dengan menelusupkan satu lenganku ke belakang lehernya, tangan yang lain menarik bahunya dan Hoseok pasrah saat aku menaruh kepalanya di sisi leherku. Tangannya memeluk pinggangku lemah, aku merasakan bibirnya bergetar, kemudian basah akibat air matanya.

hey julesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang