26. Arkan kemana?

192 7 0
                                    

Hari ini aku datang terlambat ke sekolah, bukan karena aku bangun kesiangan, bukan. Tapi ini gara-gara Arkan, biasanya pukul 06.15 dia sudah nangkring di depan rumah, menungguku yang masih bersiap-siap, aku tidak berbohong kalau aku ini orangnya tidak bisa buru-buru. Arkan akan dengan sabar menungguku, seberapa lama pun itu dia tidak pernah mengeluh.

Tapi hari ini, sampai jam hampir menunjuk angka tujuh pun dia tak kunjung datang, ku telepon berkali-kali tidak diangkat, kemana dia? Apa dia sakit? Atau dia juga kesiangan? Tanpa pikir panjang kuputuskan untuk naik ojek saja, tidak mungkin aku naik angkot di jam darurat seperti ini.

_

Alhasil di sekolah aku kena hukuman gara-gara telat, aku disuruh keliling lapangan terlebih dahulu sebelum masuk kelas.

Hari yang menyebalkan.

"Kenapa kamu telat?" Tanya pak Wahyudin begitu aku masuk kelas.

Dengan keringat yang masih mengalir dan napas ngos-ngosan aku berusaha mencari alasan.
"Jalanan macet, pak."

"Heh, macet, memangnya ini Jakarta?"

"Ada kecelakaan tadi, pak."
Ya Tuhan... maafkan aku berbohong.

"Jangan bohong!"

"Saya tidak bohong, pak."

"Saya tahu pasti kamu bangun kesiangan, kan?"

Kontan aku menggeleng.
"Tidak, pak, saya bangun seperti biasanya. Saya tidak bangun kesiangan."

"Itu mata kamu sembab gitu, sudahlah, saya tahu penyebab anak-anak muda kayak kamu bangun kesiangan, pasti kamu habis begadang kan semalam?"

Aku menggeleng. Sungguh, aku tidak begadang, aku tidur jam sepuluh setelah Arkan pulang. Itu waktu yang masih awal menurutku.

"Atau kamu habis nangis?"

Dalam hati aku membenarkan asumsinya, mungkin mata sembab ku adalah efek aku nangis semalam.
"Boleh saya duduk, pak?"
Tanpa menunggu dan tak butuh jawabannya aku langsung bergegas menuju bangkuku, tanpa mempedulikan tatapan orang-orang yang seolah menjadikanku objek menarik untuk ditonton.

_

Waktu istirahat aku langsung bergegas ke kelas Arkan, aku ingin segera menumpahkan rasa kesalku yang sekarang kubawa-bawa begitu bertemu orangnya. Awas saja kamu, Arkan! Aku gak marah seandainya kamu gak akan menjemputku, tapi setidaknya beri aku kabar biar aku tidak berlama-lama menunggu.

"Eh ada neng geulis..."
Yuan mencegatku ketika aku hendak masuk. Dia menumpukan sikutnya di kusen pintu, ekspresinya menyebalkan, seperti ingin menggoda, walau kutahu dia hanya bercanda.

"Arkan mana?"

"Kang Arkan mulu yang dicari. Sekali-kali cari aa Yuan napa..."

"Aku serius."

Yuan menyengir, lalu berdeham menampakan mimik serius.
"Nah itu dia, gue juga bingung. Itu anak gak ada kabar. Gue teleponin, gue chat, gak direspon. Jadi ke lo juga gak ngasih kabar?"

Aku menggeleng.
Jadi Arkan tidak masuk? Kemana dia? Apa dia sakit? Seandainya dia memang benar sakit, aku menyesali diriku sendiri karena sudah berniat akan memarahinya.

"Nay."

Aku menoleh ke belakang, kudapati Bagas. Dia mencopot earphone di telinganya.
"Kamu ngapain disini?"

"Awas jangan digodain, dia punya sobat gue." Celetuk Yuan mendahului ketika aku hendak menjawab.

"Diem lo!"
Dengan nada datar dan pandangan tajam, Bagas sukses membuat Yuan berlalu dari hadapan kami.

"Aku cari Arkan. Dan ternyata katanya dia gak masuk. Kamu tahu dia kenapa?"

Tak kusangka, respon Bagas hanya mengedikan bahu dan berjalan masuk kelas melewatiku, tiba-tiba ekspresinya berubah. Dia kembali seperti itu, kupikir dia sudah merelakan aku dengan Arkan.

_

Sepulang sekolah aku langsung berkujung ke rumah nenek Fatma, aku sungguh khawatir, sebenarnya Arkan sakit apa? Hari ini Yuan membawa motor, dia menawarkan tumpangan padaku karena kebetulan dia juga punya tujuan yang sama.

"Sore, nek." Yuan menyapa dengan ramah, menghentikan aktifitas nenek Fatma yang sedang menyiram tanaman.

"Eh, Yuan, ya?" Nenek Fatma terlihat sedang mengingat-ngingat ketika melihat wajah Yuan.
"Temannya Arkan?"

"Iya, nek, yang waktu itu pernah kesini."

"Iya iya, nenek ingat. Masuk, cu."
Nenek Fatma membuka pintu pagar. Wajahnya langsung sumringah ketika dia menyadari ada aku.
"Eh ada neng Naya juga ternyata. Sini masuk, neng geulis."

"Ciee... ceritanya lo udah akrab nih sama calon nenek mertua?" Yuan berbisik di sampingku, yang langsung kucubit pinggangnya, walaupun berbisik, suara Yuan terdengar begitu jelas.
Kami measuki pekarangan disambut aroma dedaunan basah yang baru saja disiram.
"Seger ya, Nay."
Aku hanya mengangguk.

"Ngomong-ngomong ada apa nih?"
Kami dipersilakan duduk di ruang tamu dan disuguhi teh.

"Kami mau menjenguk Arkan, nek. Dia sakit ya?" Kataku.

Dahi nenek berkerut. Raut kebingungan nampak jelas diwajahnya.
"Sakit? Siapa yang sakit."

"Arkan, nek, dia sakit ya?"

"Sakit? Enggak, kok. Dia sehat-sehat aja. Loh, Tadi pagi dia pergi sekolah, motornya juga gak ada."

"Loh, gak ada kok, nek. Hari ini Arkan gak masuk." Yuan menjelaskan, kami menjadi terheran-heran. Ada apa dengan Arkan? Kemana dia? Apa yang dia lakukan hari ini?
Hatiku saat ini berada diantara khawatir dan kesal.

"Ah masa?"

"Beneran, nek.  Arkan juga gak ngasih kabar. Makanya kami kesini."

"Ya Allah... kamana atuh budak teh.." (Ya Allah... kemana itu anak..)
Terdengar helaan napas nenek dia berkata dengan nada khawatir.
"Dia bolos dan pergi kemana kiranya? Bukankah teman Arkan cuma kalian?"

Aku tertegun, mengingat sesuatu. Apa mungkin dia bersama Fina? Semalam dia bilang akan membantu Fina, sepertinya dia memang melakukannya hari ini. aku memang mengizinkannya, tapi haruskah dia bolos sekolah dan membuatku khawatir sepanjang hari? Aku benar-benar kesal dan kecewa. Tiba-tiba saja aku merasa kalau Fina adalah prioritas di kehidupannya, sepertinya tak ada lagi yang lebih penting dari Fina. Eksistensiku dihatinya tersingkirkan berkat kehadiran Fina. Sepertinya Arkan memang tidak puas membuat sakit hatiku. Aku berusaha membendung air mataku yang sudah menggenang di pelupuk mata, aku tidak mau nenek melihatku tiba-tiba menangis.
"Kalau begitu, Kanaya pulang aja, nek."
Aku buru-buru bergegas keluar rumah demi menyembunyikan tangis yang semakin menyesakan saja. Yuan mengintil dibelakang, dia nampak kebingungan sebelum akhirnya ikut pamit.

"Kanaya, lo nangis?" Yuan menelisik wajahku yang langsung kusembunyikan. Tak ingin wajah menangisku terlihat oleh nenek, dia buru-buru menghidupkan mesin motor dan menyuruhku untuk segera naik.
"Udah lah, mungkin tadi Arkan ada kendala di jalanan sehingga dia gak bisa masuk sekolah," katanya ketika motor melaju menjauh dari rumah nenek Fatma.

Sepanjang perjalanan aku tak menghiraukan mulut Yuan yang tidak bisa diam, dia berusaha menghiburku walau aku sama sekali tak terhibur. Alih-alih menanggapinya, aku memilih diam.
Kamu tahu, Yuan, kenapa hari ini Arkan tidak masuk sekolah? Aku yakin dia pasti menemui Fina, aku sangat yakin. Aku tahu itu penting, dia berbaik hati menolong perempuan itu, tapi haruskah dia melupakan hal lainnya? Seharian ini dia tak mengabariku. Dan kejadian ini semakin memperkuat asumsiku yang selama ini selalu kujadikan bahan pikiran tak berkesudahan. Aku semakin yakin bahwa Arkan memang menyukai Fina, meskipun dia selalu berkata kalau Fina itu hanya teman, tapi siapa yang tahu hati manusia? Tak ada yang namanya sahabat diantara laki-laki dan perempuan, aku meyakininya, karena aku juga merasakannya saat bersama Bagas.

Mengejar BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang