"Ini stiker hologram yang Bapak jual?" tanya Zahra, seperti wartawan yang menginterogasi narasumber. Lelaki tua yang umurnya kisaran tujuh puluh tahunan itu memicingkan mata sejenak, kemudian meneliti setiap inci benda yang dipegangnya.
Beberapa menit mengamati, akhirnya pemilik toko tersebut mengangguk. Dia kemudian menatap Hayfa dan Zahra bergantian. "Ini stiker hologram yang bisa dibilang langka. Kami menjualnya sekitar 18 tahun yang lalu," katanya lalu berdeham panjang.
Garis keriput hadir di dahi pemilik toko itu. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu. Hayfa menatap ke sekeliling ruangan, ada banyak benda aneh yang ditangkap oleh netranya. Ruangan yang diisi oleh rak—seperti perpustakaan, bedanya hanya rak itu bermuatan benda-benda aneh dan tidak dimengerti olehnya, bukan lagi buku yang biasa dilihatnya sehari-hari. Batu berbentuk aneh, ranting dengan lengkungannya yang tidak wajar, hingga beberapa benda kuno yang tidak sedap dipandang mata.
"Lalu, apa yang membuat kalian jauh-jauh datang ke sini? Hanya untuk menanyakan apakah aku pernah menjual benda ini?" Akhirnya, pemilik toko itu bersuara. Mata kanannya beberapa kali berkedut, tapi masih menatap serius kedua pengunjung yang membuatnya bingung.
"Kami ingin bertanya sesuatu, Pak." Etalase itu lengang. Hanya pemilik toko yang berada di situ. Tak ada satu pun karyawan yang bekerja. Mungkin karena toko itu tak terlalu banyak pengunjung—hanya orang-orang khusus yang menikmati toko itu, maka tak memerlukan tambahan tenaga kerja.
"Apa yang ingin kalian ketahui. Akan kujawab semampuku." Suara tua itu parau, mendayu-dayu menemani suara kincir angin buatan yang diletakkan di langit-langit ruangan. Hening beberapa saat, hingga kemudian Hayfa menatap pemilik toko itu serius.
"Apakah delapan belas tahun yang lalu, pernah ada yang membeli benda itu di sini?" Sang pemilik toko setelah mendengar perkataan Hayfa barusan mendadak tertawa geli.
"Hei, Anak muda. Jika kamu saja memegangnya, bukankah pasti ada yang membelinya?" katanya sambil menahan tawa. Beberapa menit kemudian tawa itu pecah dan mengisi ruangan yang hampa akan suara itu.
"Maka dari itu, Pak. Kami mencari pemilik stiker hologram ini." Tawa itu kembali menggelegar, kini pemilik toko itu sampai memegangi perutnya akibat lelucon ini terlalu berlebihan, menurutnya.
"Tidak hanya satu, Nak, yang membeli stiker hologram itu. Lalu yang kamu maksud yang mana?" Kali ini, tawa itu terlihat mengejek mereka. Zahra mendengkus pelan, sedangkan Hayfa menghela napas. Menatap stiker hologram itu dengan tatapan kecewa. Benar juga kata pemilik toko itu. Bagaimana mencari pembeli barang sebanyak itu?
"Sebentar, sebentar," katanya sambil kembali menatap jeli stiker hologram itu. Sedetik kemudian, senyumnya mengembang. "Sepertinya saya tahu siapa pembeli stiker hologram milikmu, Nak."
Zahra dan Hayfa melongo, mereka berdua dipersilakan pemilik toko untuk duduk di pojok ruangan yang memang dijadikan tempat sebagai duduk-duduk atau hanya bersantai.
"Maafkan aku, toko ini tidak seperti toko kebanyakan—toko ini cenderung sepi. Maka dari itu saya tidak merekrut pegawai. Pun dengan tempat duduk yang tidak nyaman itu."
Zahra dan Hayfa tersenyum, kemudian menatap kursi yang isinya nyaris keluar itu. Tidak jadi masalah bagi mereka, hanya soal mendapat informasi dari pemilik toko mereka mampu menahan diri.
"Jadi, apa yang ingin kalian ketahui dari pembeli stiker hologram yang hanya ada lima di tokoku ini?" tanyanya sembari duduk. Setelah itu, dia kembali menyipitkan mata, menatap stiker hologram itu yang membuatnya kembali bernostalgia.
"Semua setahu Bapak. Hanya nama pun sudah membantu kami." Hayfa menatap lelaki di depannya itu dengan mata yang berbinar, sangat antusias.
"Maaf sebelumnya, ada keperluan apa kalian mencari tahu pembeli stiker hologram ini?" tanyanya curiga. Hayfa pun menjelaskan secara rinci. Awal kedatangannya, statusnya sebagai anak kandung, hingga latar belakang yang mendasari mereka ke sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Muhasabah Cinta [OPEN PRE-ORDER]
EspiritualIa ingin seperti Rabiah Al Adawiyyah, seorang sufi yang begitu kukuhnya cinta kepada Allah. Saking takwanya, hingga ia tak goyah sedikit pun dengan godaan nafsu pada saat Alquran sudah hilang tergerus zaman. Itulah cinta yang hakiki. Cinta yang mele...