Semuanya mengira kami bersaudara. Mungkin karena rambut coklat terang kami yang sama. Aku bahkan tidak sadar kalau kami telah berteman selama hampir lima belas tahun, dan tentu saja pertengkaran yang tidak terlalu serius selalu ada diantara kami.
Kalau saja orang tuaku tidak memutuskan untuk membeli rumah di samping rumah Nick, aku tidak akan berakhir mengayuh sepeda bersamanya sekarang menuju sekolah. Sesekali Nick menyenggol sepedaku, membuat aku harus rikuh menahan limbungnya tubuhku. Tapi aku dan Nick sudah sering bermain sepeda, jadi aku selalu bisa menahan senggolannya.
Nick adalah salah satu siswa populer di sekolah, meskipun dia tidak duduk bersama anak-anak populer. Dia memilih untuk duduk bersamaku atau dengan beberapa temannya yang sering menyangka kalau aku adalah adik Nick. Jelas saja kalau aku akan protes, siapa yang mau punya kakak seperti Nick yang menyebalkan?
Kami sampai di sekolah. Aku dan Nick berjalan menuju kelasku-Nick selalu mengantarku setiap pagi. Beberapa senior populer terkadang iri padaku karena kedekatanku dengan Nick yang membuatku selalu berakhir terkunci di kamar mandi. Tapi Nick selalu ada disana. Beberapa saat kemudian, dia akan membukakan pintu sambil membawa sweater atau jaketnya yang kemudian dipakaikan ke tubuhku.
"Kau akan langsung pulang ke rumah?" Nick menoyor dahiku dengan bolpoin digenggamannya yang baru saja dia beli kemarin malam. Aku merengut kesal, menjauhkan wajahku darinya sambil menggosok dahi.
"Ya. Kemana lagi?" Aku mengedikkan bahu, kemudian berbalik meninggalkan Nick di ambang pintu. Saat Nick berbalik, dia terkejut, nyaris terjungkal ke belakang kalau kakinya tidak menahan tubuhnya. Guru IPA-ku datang ketika Nick menoyor kepalaku. Ha! Rasakan itu.
Aku adalah satu-satunya orang yang tertawa puas atas kejadian tadi, sementara teman sekelasku memilih untuk menahannya. Lagipula untuk apa ditahan? Ini Nick! Kukibaskan tanganku di depan wajah sekedar menghilangkan tawaanku sementara Nick sudah menghilang dari pandanganku.
***
Mungkin dewi-dewi sedang tidak ingin berbaik hati padaku atau mungkin karena aku baru saja tertusuk garpu Hades. Waktu istirahat harus kurelakan dengan menyedihkan karena guru sejarahku yang memang sangat menyebalkan menyuruhku untuk mengambil belasan buku di perpustakaan. Sendiri, tentu saja.
Aku melewati serangkaian perjalanan–oke, itu berlebihan–seperti melewati kantin, kelas-kelas, dan ruang bahasa. Sesampainya di perpustakaan, aku melepaskan sepatuku di luar karena memang peraturan disini. Segera kuambil buku cetak ips yang memang sudah terjejer rapi di rak. Sialnya, buku ini berat.
Ketika aku keluar dari perpustakaan, aku berusaha meraih sepatuku karena pandanganku terhalang buku. Aku mengayunkan kakiku ke depan dan ke belakang, belum juga menemukan sepatuku. Sampai akhirnya ada seseorang yang dengan baik hatinya menendang sepatuku sampai bertabrakan kakiku. Aku menggumamkan terima kasih sebelum mengangkat kepala dan melihat Nick sedang tersenyum lebar padaku.
Selalu ada sesuatu yang istimewa dari cara Nick tersenyum. Nick tersenyum lebar sampai gigi putihnya yang rapi terlihat. Dibaliknya, ada cahaya matahari yang membuat rambut coklat pirangnya bersiluet. Bagian atas wajahnya menggelap, tapi kedua bola matanya terang seakan-akan itulah satu cahaya yang tersisa dalam kegelapan. Dan aku baru sadar kalau aku memang mengagumi kedua bola mata itu yang lebih mirip lelehan emas.
"Ada seseorang yang hidup disana?" Dengan menyebalkan Nick menjentikkan jarinya di depan wajahku sampai aku harus mundur beberapa langkah sambil mengerjapkan mata. "Kau mau aku bantu?"
Aku merengut kesal sambil memberikan tumpukan buku itu pada lengan Nick yang terbuka. Kami berjalan menuju kelasku melewati serangkaian ruangan yang tadi kulewati. Satu-satunya yang patut kusyukuri dari sekolah adalah aku memiliki Nick. Bukan, bukan jenis memiliki kalau Nick adalah kekasihku. Dan satu hal yang kusyukuri dari memiliki Nick: dia membuatku tertawa dengan cara apapun. Aku tidak bisa membayangkan satu hari hidup tanpanya. Apalagi yang baru kusadari adalah sepasang bola matanya yang menghanyutkan, meskipun Nick menyebalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Stories
عاطفية“Word spread because word will spread. Stories and secrets fight, stories win, shed new secrets, which new stories fight, and on.” ― China Miéville