24 Desember 2018
"Welcome, Bro. You look so fine," komentar Baron begitu Carlisle duduk di kursi.
"Thanks."Ursa kira, Leah akan menatap aneh ke Carlisle, karena bocah itu mengganti warna rambutnya menjadi oranye. Namun aku baru sadar, kalau Baron memiliki warna rambut platinum blonde yang tak kalah mencolok.
"So ... shall we start?" tanyaku dan mengamit tangan Leah.
"You can, but sorry, I don't pray," ucap Carlisle tenang.Baron, aku, dan Leah berdo'a dengan menutup mata. Setela itu, aku memotong daging untuk kami bertiga, karena Leah adalah vegetarian.
"So, Carlisle, how's it going?" tanya Leah.
"How is it going, about what?" tanya Carlisle kembali, dengan nada dingin.
"About school, maybe? Or your life?" tanya Baron, lebih tepatnya 'memancing'.
Carlisle berhenti memotong dagingnya. "Nothing's special, actually. How about you?"
"Yah, kamu baru saja bertemu setelah dua tahun terpisah. Aku dan Baron ada di Korea Selatan," ucap Leah."Oh," ucap Carlisle. "It's better than having no one beside you, haha."
"Carlisle," bisikku dan mengelus punggung tangannya. "You're not alone. Kamu punya aku yang bisa kamu andelin."
"I know it's hard for you," ujar Baron dan menyeruput wine-nya. "Tapi kami, terutama Ursa, bakal bisa jagain kamu. Meski kami nggak bisa gantikan keluargamu. But surely, you can stay here as long as you want."Aku yakin maksud kata 'stay' dari Baron bukan berarti tinggal di rumah ini.
Carlisle tersenyum dengan tulus. Air matanya jatuh, mengalir melewati pipinya.
Dengan cepat, ia menyeka. "Thank you."Setelah melewati makan malam yang berangsur-angsur penuh canda tawa, tak terasa, jam sudah berdentang sebelas kali.
Aku merapikan syal Carlisle yang bersiap pulang. "You should change your mind."
Carlisle mencium keningku. "I'll think about it, Honey. Merry christmas."Hatiku mendesir, sementara Carlisle menghilang ditelan kabut malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
chance // hrj ✔️
Short Story' "I'm sorry. For not taking the last chance." cover: nicola samori, 1977