Chapter 3 : Initio

554 70 2
                                    

Senja kala itu sudah hilang tertutup langit kelam, sekelam manik jelaga milik si pemuda Choi yang baru saja menginjakkan kaki di depan rumahnya.

Kakinya hanya stagnan di depan pintu. Diam-diam masih terlalu takut untuk berhadapan dengan sang nenek. Pun bibirnya tak sanggup jika harus mengatakan soal ia yang didepak keluar dari sekolahan. Kendati Yeonjun yakin, pihak sekolah sudah menyampaikan kabar tersebut pada keluarganya.

Maka berkali-kali hembusan nafas lelah keluar dari hidungnya, sebelum terdengar derit pintu yang terbuka oleh dorongan si pemuda Choi.

" Halmeoni?" Yeonjun mengedar mencari sosok sang nenek tercinta nya.

"Aku pulang!" serunya lagi. Kali ini berhasil menarik atensi sang nenek untuk meninggalkan ritual membuat makan malamnya.

" Aigoo... cucu ku yang tampan sudah pulang rupanya."  Pelukan hangat diberikan pada Yeonjun, dari sang nenek. Lantas saja membuat si pemuda Choi semakin merasa bersalah. Maka turunlah liquid bening dari ujung matanya.

" M-mianhae halmeoni…," lirihnya, terlalu tak sanggup untuk berkata lebih lanjut.

Wanita tua di hadapannya tersenyum tanpa sepengetahuan Yeonjun, mengusap-usap punggung lebar cucu kesayangannya sebelum berujar, " Gwaencanha, kau sudah berusaha keras."

Pelukan itu kemudian ia urai, beralih menatap manik legam milik cucunya dan kembali berujar, "Besok kita cari sekolah yang lebih baik hmm? Percaya pada nenek, kebahagiaan menanti dirimu untuk menjemputnya, sayang."

***

Lantai marmer jernih diterpa temaram cahaya bulan memantulkan sosok lelaki yang  tengah duduk di pinggir ranjang nya. Wajahnya menunduk seraya gurat kekecewaan ikut serta unjuk diri menghiasi wajah si pemuda.

Malam ini harusnya ulang tahun sang Ibu. Ibu tercintanya yang sialnya meninggal saat Soobin berusia sepuluh tahun. Niat hati si pemuda Choi ingin memberikan kado kecil-kecilan bagi sang Ibu, yang kemudian akan ia letakkan di dekat tempat abu milik ibunya. Tapi baru saja Soobin hendak keluar rumah, sang Ayah sudah berkacak pinggang dengan tampang congkaknya, pun mulutnya langsung mengeluarkan perintah mutlak agar Soobin kembali ke kamarnya.

"Sudah malam, mau apa kau keluar?" ucapnya kala itu. Sorot mata tajam ikut menghiasi mimik mukanya.

"Beli hadiah untuk istrimu yang dulu kau buang," si pemuda Choi berujar enteng, mudah sekali bahkan tanpa ada rasa takut pada siapa yang kali ini ia ajak bicara.

Maka wajar saja kalau pria setengah baya di hadapannya murka, "Jaga bicaramu Choi Soobin! Masuk ke kamarmu sekarang atau—"

"Atau apa?!" Soobin kelewat kesal sampai-sampai memotong ucapan sang Ayah, pun berujar dengan nada naik satu oktaf.

"Apa kau bahkan pernah memikirkan Ibu? Apa kau bahkan pernah memberikannya hadiah setelah Ibu pergi? Atau lebih sederhana lagi, apa kau pernah mencintai Ibu?! APA KAU PERNAH HAH?!" Soobin berkaca-kaca sembari hatinya membiru.

Mati-matian ia tahan liquid bening yang siap meluncur kapan saja dari pelupuk matanya, sambil mulutnya kembali berucap, "Kau bahkan tidak berusaha memperbaiki diri di hadapanku. Aku jadi ragu, bukankah kah tak pernah menginginkan kehadiran aku dan Ibu?"

Lantas kaki si pemuda Choi melangkah, berbalik menyusuri lorong gelap mansion megah itu, meniti satu per satu anak tangga sampai di kamarnya. Meninggalkan Tuan Choi Shin Hyuk dengan segala kerisauannya.

***

Dentingan alat makan mengisi ruangan hening itu tanpa adanya pembicaraan sejak beberapa menit yang lalu. Semuanya terlihat hikmat melahap semua yang disajikan oleh nyonya besar di sana. Hingga satu hal yang membuat si Tuan bertanya.

Crown || Choi YeonjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang