Bagaiman perasaan kalian jika berada diposisi aku? Aku yang sedang mempunyai hubungan spesial dengan seorang pria yang sangat baik, setia dan sangat aku cintai, tapi nyatanya aku harus duduk di pelaminan ini dengan seorang pemuda yang asing bagiku. Meskipun keluarga kami begitu dekat. Ya, kami telah dijodohkan oleh orangtua kami tanpa aku tahu sabab dan musababnya. Padahal orangtuaku sudah tahu, bahwa aku sedang menjalin kasih dengan Max, adik dari pemuda yang duduk disampingku saat ini, alias suamiku.Lantas bagaimana dengan orangtua suamiku. Apakah mereka juga tahu bahwa aku dan Max punya hubungan spesial? Tidak. Mereka tidak tahu sama sekali. Dari awal, kami telah berjanji untuk menjalin hubungan ini secara sembunyi-sembunyi. Sebab jauh sebelum kami berpacaran, Max dan aku sudah tahu soal perjodohan kakaknya dan aku. Iya, kami dijodohkan sejak kecil. Tapi aku malah jatuh hati kepada adiknya yang memang seumuran denganku. Bukan kepada kakaknya yang seharusnya sudah berkepala tiga.
Kalian mungkin pasti sudah menerka-nerka ujung dari tulisan ini. Seorang pemuda dewasa yang dijodohkan dengan gadis bocil, akan selalu berending bahagia dan romantis. Maka support lah aku agar tetap setia pada Max. Karena aku juga tidak tahu, kedepannya akan bagaimana? Hmmm,
Hari ini, wajahku nampak tidak bersemangat. Tidak ada senyum yang terlukis dibibirku. Setiap tamu undangan yang menyalamiku, kutatap mereka dengan sinis. Seolah-olah aku membenci semuanya.
Tiba-tiba saja, aku teringat dengan Max kekasihku. Bagaimana perasaannya saat ini? Aku tahu, Max pasti sangat-sangat bersedih.
"Mas, aku ke kamar mandi dulu ya?" Ucapku padanya yang tengah asik nyemil kue manisan.
"Hmmm, tunggu. Biar aku panggilkan mamah untuk ngantar kamu"
"Gak usah mas. Aku cuman sebentar aja. Mau pipis. Hehe"
*****
"Max??? Max jawab Max?"
Telefon yang sudah tersambung sejak 5 menit lalu, belum terdengar juga suara Max."Max... Please, nyaut dong Max! Aku gak tenang rasanya Max"
"Hu...hu...hu..hu"
Beberapa detik kemudian, suara Max sudah terdengar diseberang telefon. Tapi tampaknya ia sedang menangis.
"Max, kamu jangan gitu ah. Lebay." kataku mendecus. Dia memang selalu bertingkah layaknya anak kecil. Posesif, cemburuan dan ngambekan layaknya perempuan. Maklum, kami berkekasi masih di daun muda. Bisa dibilang masih bocah-bocah. Tapi aku yakin, cintaku pada Max adalah cinta sejati. Kami sudah berkekasih hampir 5 tahun and I love only my Max.
"Apasih, kamu ini? Siapa yang lebay? Oh aku tau, pasti kamu malah bahagia saat ini karena sudah punya suami. Sedangkan aku? Aku bagaimana Tiara? Aku gak bisa hidup tanpa kamu. Aku mending mati aja Tiara"
"Lebay banget sih kamu ini. Aku gak kehilangan kamu kok. Aku juga sayang kamu."
"Gak kehilangan gimana? Nyatanya kamu udah nikah. UDAH NIKAH TIARA, BUKAN UDAH MANDI"
"Iya, aku tau. Tapi aku gak mau kehilangan kamu juga Max."
"Ah, terserah ah. Aku mau bundir aja"
"Bundir aja. Emang gue pikirin" Jawabku ngekek. Karena aku tahu, dia cuman bercanda. Dia bukan cowok goblok, yang hanya karena cinta, akan rela bunuh diri. Aku tau, dia realistis dalam berkekasih. Aku juga realistis. Nangis pun, harus pilih-pilih kekasih yang pantas ditangisin. Bukan nangisin setiap laki2 yang pernah dijadiin kekasih. Ada saja satu diantara mereka yang spesial.
*****
"Tiara..."
Tiba-tiba seseorang telah memanggil namaku dari balik pintu kamar mandi. Iya, dari tadi aku nelfonnya di kamar mandi. Karena cuman di kamar mandi tempat yang aman. Wkwkwk
"Tiara kamu baik-baik saja kan? Ini sudah hampir 20 menit kamu didalam"
"Iya mah. Bentar lagi aku keluar. Mules perut ku mah. Huhu" Jawabku manja pada ibu mertua, sebab aku tahu beliau sangat menyayangiku.
"Max, udah dulu ya. Aku balik ke pelaminan dulu. Mamah udah manggil"
"Cieee, yang udah nikah" ledeknya sebelum menutup telefon.
Bersambung