Chapter 20: The Spilled Beans

393 45 17
                                    

Selama seminggu lebih setelah kejadian di rumah gue, kami mulai melakukan secret rendezvous. Gue dan Brian harus sama-sama berbohong ke Indira karena nggak mungkin juga saling ketemu di rumah gue.

Puncak rasa berdosa gue adalah ketika si oknum ulang tahun dan lebih memilih dinner sama gue, saat gue clueless itu adalah hari ulang tahun dia. Ya apa juga yang dia bisa harapkan ketika kami baru kenal sebulan dan on-off nggak jelas gitu. Ulang taun Ucup aja gue sering lupa.

Apalagi ini orang baru.

Baru sayang. Eaa.

"I'm taking you to a very special place. This is a special day." katanya saat menjemput gue malam itu.

"Hm? What special day?"

"My birthday."

"Beneran? Happy birthdaaaay!" gue memeluk lehernya saat dia sedang menyetir.

"Kadonya mana?"

"Kan nggak tau? Nyusul deh."

"Cium dulu.." katanya sambil menunjukkan jari ke pipi.

"Ihh! Nggak ah nanti nabrak!"

Dia terkekeh mendengar tanggapan gue.

Kami kemudian berhenti di depan McDonald. Dia menyembunyikan senyum saat gue menatapnya kebingungan.

"Your..special place is McD?"

"Were you expecting a fancy dinner?"

Sebenernya iya, walaupun tadi juga gue bingung karena nggak pake dress.

"Umm.. no? Maybe a little... Abis kamu tadi bilang special place."

"McD IS special. I don't take just anyone to eat McFlurry." cengirnya dengan bangga. "If you want a fancy dinner I can take you later, after you decide our label." sindirnya.

Sementara Indira udah marah-marah karena dia bilang si Kampret malah mau nunda selebrasi ulang tahunnya sekaligus kumpul sama geng binatang. Padahal mereka udah janjian bakal ngerayain di rumah Cebong dengan makan-makan. Untung makanannya nggak pake pre-order.

Walaupun ujungnya mereka tetap merayakannya sehari setelahnya. Sepulang dinner saat d-day gue harus berusaha menutup kuping mendengar kakak gue ngomel dengan volume takbiran di telepon, mengomeli si Kampret.

"Nggak bisa gitu lah Bri! Anak-anak juga pada sibuk nyempetin waktu hari ini doang, lu reschedule seenaknya!"

"Ya gue tau lu ngomong sejak kemarin, tapi nggak gini caranya dong. Lu ngapain sih sampe ngesampingin kepentingan berbanyak gini? Hargain dong usaha yang lain! Piyik aja dari luar kota mau jauh-jauh demi ngumpul!"

"Alam sutra kan luar kota, jauuuh! Kenapa sih Bri? Are you hiding something from us?"

DHEG. Gue udah mau lompat aja dari balkon.

"Gue udah bilang kalo lu maunya besok, tapi Piyik ngga janji dateng. Tuh kan jadi terancam ngga lengkap gini! Awas ya kalo ternyata lu cari-cari alasan doang buat nutupin sesuatu. You know I'll always find out."

Mampus.

Dan sampai besok paginya gue nggak berani turun dari kamar setelah mendengar percakapan itu.

Seringkali kalo kami keluar setelah jam kantor gue harus beralasan pulang telat karena kerjaan, kadang Brian yang harus pura-pura ada acara sendiri saat bubaran kantor dan menolak untuk menemani Indira belanja atau beli makan malam seperti biasanya.

Gue juga terpaksa membiarkan Indira makan malam sendiri dan mengingatkannya untuk nggak beli porsi dua orang.

"Exponya naik skala apa tahun depan? Kemarin-kemarin lu nggak sesibuk ini kayaknya. Kampret tuh juga, sama aja kebanyakan acara sekarang, nggak jelas nemu temen baru di mana tuh orang tiba-tiba."

November RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang