Tepukan riuh di lapangan membuat kedua sudut Langit Bramana Putra tertarik seiring menaiknya dua pipi -yang anak kelas bilang- cukup chubby itu setelah dia menyampaikan visi misinya sebagai ketua osis.
Gimana nggak? Gue bangga banget jadi satu-satunya anak tingkat satu yang mencalonkan diri menjadi ketua osis.
Sebenernya gue gak begitu berharap jadi ketua osis, tapi ini salah satu cara agar lebih menonjol.
Maksud menonjol di sini bukan seperti tinggi badan gue yang menjulang sampai membuat kakak kelas tingkat dua yang berdiri disamping gue terlihat lebih rendah.
Atau menonjol saat berhasil shoot bola basket poin 5 dan menjadi cukup terkenal karna di semester kedua gue sudah berhasil menjadi bagian tim inti.
Tapi,
Menonjol bagi fokus gue pada alto yang sempurna.
"Tolong perkelas baris secara teratur saat saya panggil dan masukkan kertas yang berisi nama calon ketua osis pilihan kalian ke dalam kotak yang tersedia"
Bagi gue yang cukup mengerti nada, suara yang keluar dari microphone barusan adalah nada alto yang sempurna.
Sesempurna pemilik nada tersebut.
Mar cha na Aurora Lo wi
Aurora tanpa dipenggal, dan Loui yang seperkiraan gue nama turunan dari ayahnya.
Begitu pertama kali gue membaca nametag seorang kakak ospek tingkat dua. Jabatannya kala itu Humas. Dan tidak pernah berubah hingga sekarang.
Jabatannya sangat sesuai dengan sang penyandang, karna pribadinya yang ramah dia sangat cocok menjadi jembatan antara organisasi dengan warga sekolah. Percaya gak sih saking ramahnya dia sampai dekettttttt banget sama si engkong soto kantin. Berkat dia, baru kali ini gue cemburu sama engkong-engkong.
Aurora memiliki banyak teman, terbukti setiap ke kantin ia selalu dengan orang yang berbeda, sedihnya gue gak ada dalam list 'orang berbeda' itu. Gue cuma menjadi orang yang suka perhatiin dia dari meja favorite gue, depan Bakso Pakde.
Gue yang sangat betah berlama di kantin, menjadi lebih lama lagi hanya untuk menunggu Aurora datang terus pesen soto si engkong dengan menu favoritenya, sambel tiga sendok dan extra kikil, gue tau soalnya dia kalo mesen kaya orang teriak sih. Haha. Ngeliatin Aurora makan sambil ketawa sama temen-temennya bikin gue ketawa juga, sampai dia meninggalkan kantin, baru deh gue balik ke kelas, atau ngga main basket di lapangan.
Sekali mendayung, dua pulau terlampaui.
Sambil dribble gue sekalian listening teriakan Aurora dari ujung lapangan ke ujung lainnya hanya untuk menyapa seseorang yang ia kenal.
Banyak yang komentar cara menyapa gue yang lebih suka meluk orang dari belakang terus mengangkat badan dia dan melepasnya bebas itu rese, ngeselin, ngagetin, memalukan, lucu, gemes, dan banyak lagi, tapi akhirnya bagi mereka yang menjadi korban gue sudah cukup biasa karna kebiasaan gue.
Seenggaknya itu hanya korban korban yang sejatinya deket sama gue.
Tapi engga bagi dia, Aurora dan suaranya yang suka banget narik perhatian semua orang.
Aurora selalu teriak untuk menyapa orang yang ia kenal, padahal cukup jauh dari jangkauan.
Ini adalah alasan Ka Arya -kapten tim basket- suka nyeplos ke gue, "ngetawain apaan lo, Lang?" ketika mendapati cengiran gue yang tiba-tiba muncul saat main basket di lapangan hanya karna Aurora sibuk mengeluarkan falsetnya untuk seseorang di seberang lapangan.
Gemes banget ah, sial.
Gue yang biasanya menempatkan diri sebagai yang termuda, karna emang gue lebih cepet setahun dibanding rata-rata temen gue di tingkat satu, jadi merasa tua saat tau kakak kelas gue seumuran sama gue karna akselerasi dia di sekolah menengah pertama.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIMERENCE
Teen Fictionuntuk tiap cerita sederhana, kita punya rasa yang berbeda. ketika peran orang lain, menjadi utama dalam kisah.