"Kak, udah hampir jam enam lho. Bangun, mandi, terus segera ke masjidnya."
Aku bisa mendengar suara Mama tapi aku agak malas untuk merespons. Aku hanya mengeluarkan suara mirip erangan, sebatas dia tahu aku sudah bangun. Benar-benar malas sekali bergerak dari kasur dan keluar dari selimut. Tempat ini tidak pernah terasa sedingin ini. Biasanya aku nggak butuh selimut tebal yang sudah kugunakan sejak SMP ini setiap kali pulang. Biasanya aku justru tidur sambil membuka jendela meski konsekuensinya aku harus berjibaku dengan kawanan nyamuk sepanjang malam (dan siang). Aku sedang berada di Waktu Indonesia Tengah, satu jam lebih cepat dari waktu Jakarta. Tapi jam tidurku selama seminggu di rumah masih mengikuti waktu Jakarta jadi kupikir nggak masalah kalau aku masih malas-malasan meski jam sudah menunjukkan hampir pukul enam di sini. Belum waktunya bangun. Biasanya aku bangun jam tujuh atau setengah delapan.
"Ah, hari ini kan Lebaran," aku bergumam sambil meraba-raba di sekitar bantal, mencari handphone yang sejak semalam tak berhenti bergetar karena kedatangan banyak sekali notifikasi berisi ucapan selamat Idulfitri. Tidak satupun dari pesan-pesan itu langsung kubaca. Apalagi kubalas.
Sudah jadi kebiasaanku dari tahun ke tahun untuk tidak segera membalas pesan-pesan itu. Bukan karena aku malas (sebenarnya memang sih, hehe), tapi aku tidak ingin memberi kesan bahwa aku tidak punya kerjaan lain selain membalas pesan ucapan selamat Lebaran. Selain itu, karena ucapan Lebaran biasanya diikuti dengan kata-kata permohonan maaf (dan buatku meminta maaf itu adalah perkara serius) jadi aku butuh waktu untuk berpikir. Pesan yang kubalas itu dari siapa? Apakah aku pernah melakukan kesalahan-kesalahan tertentu yang menyakiti hatinya selama setahun terakhir? Apakah kita cukup banyak menghabiskan waktu bersama selama setahun terakhir? Apakah kita cukup banyak mengobrol selama setahun terakhir? Kalau semuanya negatif, aku tidak perlu buru-buru membalas pesan itu karena hampir pasti mereka juga mengirim ucapan selamat dan permintaan maaf itu hanya formalitas saja. Broadcast message. Buatku itu tidak terkesan tulus sama sekali.
"Kak!" Mama berteriak lagi dan dari suaranya dia terdengar lebih tegas dari yang tadi.
"Iya! Iya! Kakak bangun!" balasku sambil menguap lebar dan menggeliat. Aku akan bercumbu dengan kasur ini lagi nanti setelah pulang dari masjid. Sekarang sebaiknya aku mandi dulu.
Lebaran di 2019 dan dua sampai tiga tahun sebelumnya sudah tidak terasa meriah lagi. Aku merasa orang-orang mulai menyikapi Hari Lebaran sebagai perayaan formalitas saja yang dilakukan setiap tahun. Seperti upacara bendera Senin pagi di sekolah dulu. Sebagian besar sudah terlihat malas-malasan. Dekorasi kampung tidak lagi semeriah waktu aku masih remaja. Setiap tahunnya ritual salam-salaman terasa hambar. Penuh dengan wajah-wajah palsu yang punya pikiran yang sama: "Habis ini, ya kita gunjing lagi. Ghibah lagi."
Ya oke. Aku juga begitu kok. Maafin. Mumpung lagi Lebaran.
Orang-orang yang bersemangat untuk begadang buat mendekor kampung sekarang sudah menua. Sudah tidak bersemangat seperti dulu. Sementara generasi penerus mereka usianya masih terlalu muda dan terlalu sibuk dengan gadget mereka. Tak ada lagi adegan mengetuk pintu satu rumah ke rumah lain untuk minta sumbangan buat mendekor kampung. Tak ada lagi adegan memotong bendera kertas dua hari sebelum Lebaran (yang biasanya jadi agenda yang paling kutunggu-tunggu). Sekarang semuanya terasa hambar.
Sekali lagi.
Sebenarnya aku lebih memilih diam di kamar, mendengarkan lagu-lagu patah hati atau nonton Netflix seharian. Meski rasanya tak bijak (dan tak akan dapat izin dari Mama) tapi inilah yang aku butuhkan daripada menghadapi wajah-wajah palsu itu. Aku tahu mereka. Aku kenal seperti apa mereka. Aku kenal orang-orang di kampung ini dan semakin mereka tua, semakin buruk perangainya.