Satu

10.8K 757 90
                                    

"Mmmmppppp....." Seokjin hanya bisa mengeluarkan dua huruf tersebut seolah menjadi orang dengan gangguan konsonan dalam bentuk bilabial.

Tubuh itu terus meronta kesakitan. Mulutnya di bekap oleh lakban hitam, tangannya diikat di belakang kursi, kakinya pun diikat di kaki kursi. Rambutnya berantakan karena tadi dijabak guna menyeret tubuhnya masuk ke ruangan sempit dengan pencahayaan remang;  ruang sempit di sebelah kamar utama.

"Mmmpppp...." lagi, dia hanya bisa mengeram meminta ampun saat sang dominan menyakitinya.

Matanya sudah berkaca-kaca siap menangis karena rasa sakit yang dia terima namun entah kenapa ada kebahagiaan terselip di sana.

"Kau menangis, Jinseok-ah?" Dagunya di cengram erat, mata sang dominan menatap tajam dirinya. Air mata itu menetes dengan sendirinya. "Jangan menangis." Sang dominan mengusap lembut air mata Seokjin. "Kau tau jelas bukan salahmu apa?"

Seokjin mengangguk pelan disela air matanya yang turun. Dia suka diperlakukan seperti ini. Seokjin juga tidak tau kenapa air matanya menetes.

"Mau mengatakan sesuatu?" Tanyanya. Suaranya begitu tenang.

Seokjin mengangguk. Sang dominan, oke, kita panggil saja Namjoon agar lebih jelas, membuka cepat lakban hitam di mulut Seokjin. Seokjin meringis kesakitan saat rasa perih dari lakban itu mengenai lapisan luar kulitnya.

"Cepat katakan!" Bentak Namjoon.

"M-maaf." Satu kata yang keluar.

Namjoon menaikan satu alisnya.

"M-maafkan aku. A-aku salah." Suasa Seokjin bergetar. Tak bisa dipungkiri, Seokjin takut. Seokjin menunduk, membiarkan air mata itu menetes jatuh ke bawah. "A-aku tidak mendengarmu. A-aku melawanmu."

Namjoon menjambak rambut Seokjin, memaksa kekasihnya itu mendongak manatapnya. "Kau berulah lagi."

"M-maafkan aku." Ujarnya kepayahan.

Muka Seokjin sudah penuh lebam, belum lagi darah dari dahi akibat Namjoon mendorongnya dan kepalanya terantuk lantai. Menyakitkan.

Namjoon menghela nafas. Sorot mata marahnya kini berangsur hilang. Dia melepas jambakannya, Seokjin seketika menunduk. Namjoon merendahkan tubuhnya hingga setara dengan Seokjin, tangannya dengan pelan membuka tali di pergelangan kaki Seokjin sampai pergelangan indah itu terbebas dari tali, meninggalkan kemerahan yang kontras dengan kulit putihnya. Lalu kaki panjangnya melangkah pelan ke belakang Seokjin, membuka ikatan di tangan Seokjin. Sama seperti pergelangan kakinya, pergelangan tangannya pun merah.

Namjoon kembali ke depan Seokjin, berlutut di depan Seokjin membuat kepalanya setinggi dada Seokjin. Seokjin sejak tadi menunduk, mengelus pergelangan tangannya yang sakit.

"Sakit?" Tanya Namjoon. Suaranya sudah lembut seperti biasa, menenangkan.

Seokjin mengangguk tanpa berani menatap Namjoon.

"Seokjin, tatap aku."

Seokjin menurut. Dia menatap Namjoon. Mata sebelahnya terdapat lebam, pipinya merah, dahinya berdarah. "Maaf." Lagi, dia meminta maaf.

"Sakit?"

Seokjin mengangguk, "kakiku sakit." Adunya pelan. Namjoon memang tadi mencambuk kakinya membuat Seokjin terus meronta kesakitan dan berakhir dengan menangis karena sakit namun di sisi hatinya juga dia merasa senang.

Namjoon melangkah ke samping Seokjin, menyelipkan tangannya si belakang lutut Seokjin dan satu tangannya memegang belakang bahu Seokjin; Namjoon mengendong Seokjin. Seokjin langsung mengalungkan tangannya di leher Namjoon dan menyembunyikan mukanya di ceruk leher Namjoon.

TempramentalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang