"kenangan, hanyalah kemarin."
Hari itu, dua tahun lalu. Hujan mengguyur lebat, memeluk erat kekeringan. Moha dan kirana masih disekolah, duduk menunggu waktu dengan gusar, sambil sesekali menatap keluar jendela. Entah kenapa, ada yang mengusik keheningan hati mereka. Seolah tau, akan terjadi sesuatu yang salah.
Sejak pagi firasat itu menduduki hati keduanya, dan mengikat dengan kuat. Seperti, sesak, tapi tak tahu kenapa. Mereka jadi tak sabaran untuk pulang lebih cepat, karna merasa sangat lelah, dan ingin sekali merebah.
Waktu yang ditunggupun akhirnya menghampiri, bel pulang sudah berbunyi. Semua tersenyum lega, kebebasan berteriak dari hati-hati yang tak puas itu. Terkecuali hati moha dan kirana, mereka masih merasakan firasat itu. Firasat yang entah tentang apa."aku kok gak enak hati ya mo?." kirana melipat bibirnya.
"mh? Gak papa. Aku juga kayak gitu." moha tersenyum, mengelus kening kirana.
"pulang?" moha bertanya pada uci dan kirana.
"elah, ujan kali mo." moha mengangguk menanggapi jawaban sahabatnya uci, namun matanya masih setia menerawang hujan. Berusaha menebak, kira-kira ada apakah dengan hatinya hari ini?Setelah menunggu hampir satu jam, akhirnya hujan mulai sedikit reda. Dan seperti rutinitas biasa, moha mengantarkan kirana pulang kerumahnya. Melintasi jalanan yang masih basah, dan berlubang dibeberapa bagian, hingga membuat genangan.
Gerimis masih terasa menerpa kulit mereka. Namun tak cukup tangguh untuk menghentikan laju motornya. Kirana memeluk erat moha dari belakang, lalu memejamkan matanya merasakan kehangatan punggung lelaki itu, seolah ingin membagi kerisauannya. Gerimis itu kini membasahi sampai ke ulu ati, terasa membanjiri.Ada apa dengan hati?
Ada apa dihari ini?Sisa hujan masih nampak jelas didepan rumah kirana. Pagar putih yang tadi mereka lewati, telah tertutup kembali. Rumput yang hijau dan lapang menyambut kedatangan keduanya, lalu dilewati tanpa berarti apa-apa. Kini hanya tersisa bau embun menyapa hidung mereka. Serta dingin yang ikut memeluk mesra.
"kamu mampir dulu ya mo, perasaanku masih gak enak. Gak tau kenapa." moha tak bisa menolak, meski tadinya dia berniat langsung pulang agar bisa menidurkan kekhawatirannya.
"iya." moha tersenyum. Kirana lekas menarik dan menggenggam lengan moha. Sedikit terburu-buru untuk membuka pintu.
Ruang depan terasa sepi, mungkin mamah kirana tertidur pulas karna hujan deras tadi. Dan papahnya mungkin masih bertugas di kantor. Begitu fikir kirana saat melewati ruang depan, ruang tempat berkumpul keluarga.
Lalu tiba-tiba kirana menghentikan langkah. Moha ikut berhenti, meski tak mengerti kenapa mereka harus berhenti.
"ada apa?" kirana menunjuk papahnya yang sedang berdiri diluar pintu kamar utama. Terpaku, dengan airmata yang deras mengalir. Tak terbendung.
"papah!" kirana berusaha menghampiri. Tapi langkahnya kembali terhenti, karna isyarat papahnya.Inikah jawaban dari firasat buruk itu?
Debar jantung kirana berpacu kuat. Kirana masih tak mengerti, ada apa sebenarnya?. Lalu hati yang tak mengerti itu menuntun kakinya untuk berlari. Mencari tahu apa yang sedang terjadi.
"stop kirana!" suara papahnya menggema dilangit-langit. Kakinya ambruk, getir.
"moha, bawa putriku pergi. Sekarang!" moha ditatap dengan mata penuh permohonan. Seolah, 'lindungi putriku'.
Tapi terlambat, kirana telah lebih dulu mendengar suara-suara orang berbincang dari kamar itu. Buru-buru dia membuka pintu, setelah susah payah menghindari cengkraman tangan ayahnya yang setengah bersujud. Pintunya tak dikunci."aahhhh!" kirana menutup mulutnya. Hati pedihnya kini meluapkan air mata. Moha mengejar dan mulai ikut mencari tahu, namun saat tahu, maka saat itu juga moha bersumpah dalam hatinya.
Aku lebih baik tak tahu.
Sumpah, aku ingin menjadi dungu.Kini mereka bertiga ambruk, satu setengah bersujud, yang lain masih bersusah payah menahan diri agar tak jatuh. Apa yang disaksikannya, akan selalu jadi mimpi buruk selamanya.
"mamah!" rintih kirana diantara isak tangisnya. Tak bisa dipercaya, mamahnya kini sedang seranjang dengan papah moha. Mereka berdua telanjang.
Moha menutup mata kirana dengan tangan kirinya, lalu tangan kanannya memeluk kirana.Kirana, aku ingin menjadi ...
Menjadi apa saja yang bisa menghapus ingatanmu akan hari ini.
Kirana, aku mencintaimu.
Meski setelah semua ini.
Kirana ....
Aku mencintaimu,
Dan tak ingin berhenti.**********
Kenangan hanyalaah kemarin, benar. Tapi kemarin telah mengubah banyak hal. Kemarin, telah menandatangani surat perjanjiannya dengan takdir. Kemarin, telah ikut menjelma menjadi hari ini. Kemarin, telah membangun saat ini.
Papah kirana menjadi depresi, pertengkaran demi pertengkaran, makian demi makian, kepedihan demi kepedihan telah menumpuk diseluruh bagian rumah yang dulunya adalah tempat kembali. Kini rumah tak lagi berarti, semua malah ingin pergi.
Kirana terkadang tak pulang, hatinya mencoba untuk berlari. Tapi selalu saja kembali ketempat yang sama.
Papahnya berjudi, mabuk, kadang tak pulang berhari-hari. Sedang mamahnya hanya mengurung diri. Sampai akhirnya ditemukan bunuh diri di suatu pagi. Dan orang-orang jadi bergunjing tentang penyebab kematiannya itu. Semua berprasangka mamah kirana tak sanggup menanggung malu atas perselingkuhannya, dan tak mampu menerima kenyataan bahwa suaminya telah jatuh miskin. Ditambah keluarga besar dari papah kirana yang selalu ikut campur, dan ikut menambah bara api.
Mamah kirana dan papah moha dulunya adalah sepasang kekasih. Cinta pertama yang mulai tumbuh semenjak SMA. Namun, papah moha telah menemukan seseorang untuk diperistri, karna baginya mamah kirana hanyalah bagian dari perjalanan yang akan dilaluinya. Sayangnya, mamah kirana masih sangat tergila-gila pada cinta pertamanya itu. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk menerima pinangan papah kirana, yang jelas-jelas adalah sahabat dekat papah moha.
Papah kirana memperlakukan istrinya bagai ratu, apapun akan diberikannya. Begitu cintanya, sampai tak menyadari bahwa dia hanya jatuh cinta sendirian. Karna wanita yang dicintainya sejak lama, masih mencintai orang lain.
*******"kau tahu aku mencintaimu." lelaki yang masih terlihat muda dan berkharisma itu sedang berlutut dihadapan istrinya.
"yang ku tahu, cinta tak pernah menjadi sebodoh itu." wanita itu menghapus airmatanya, tangan kanannya memegang erat kursi.
"kau tahu, aku tak memiliki siapa-siapa selain kau dan putra kita moha. Lalu jika keluarga kecil ini tak lagi bisa membuatku merasa berarti, lalu harus kemana lagi aku berlari?" matanya tajam memandang.
Hening, hanya isakan tangis. Begitu menyakitkan, sampai wanita itu tak lagi berfikir tentang apa-apa. Dia merasa, dia sendirian. Dan satu-satunya jalan agar tak lagi melihat wajah bajingan dihadapannya ini, adalah dengan pergi dan tak lagi menemui moha.
Lalu akan setangguh itukah dirinya jika harus kehilangan moha juga? Tapi tak mungkin membawa moha lari bersamanya. Dia tak memiliki apa-apa, bahkan keluarga. Yang dia miliki saat ini hanyalah keinginan untuk pergi, dan lari, lari sejauh yang dia bisa.
Bagaimana moha nantinya, bagaimana sekolahnya? Bagaimana masa depannya jika harus ikut bersamanya?. Mungkin dia lebih baik menderita sendirian, atau mati saja karna kelaparan. Daripada harus menanggung penderitaan, melihat anaknya tak memiliki apa-apa. Dan dihina sebagaimana dirinya dulu.
Tidak! Tidak! Ini terlalu pahit bahkan untuk sekedar mengucap kata perpisahan.Maafkan bunda moha. Maafkanlah!
Atau benci saja, tidak papa. Itu lebih baik bagimu agar tak lagi merindukanku.Wanita dengan wajah penuh ketenangan itu kini semrawut. Berlari pergi, tak dihiraukannya apa-apa lagi. Bahkan untuk sekedar baju, atau sepeser uang untuk ongkosnya.
Lebih memilukan lagi saat melihat wajah moha yang memerah, karna menangis. Sungguh, lisannya sudah tak sanggup lagi berkata-kata.
******
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck On Stupid
RomansaApakah takdir selalu melihat dari sudut pandangnya yang jenaka, dan mengubah semua, semaunya? Seperti mengubahmu, diwaktu, dimana aku tak mau. Lalu mengiris jalan dan membentangkan jarak antara kita. Apakah takdir setega itu, untuk mengupas waktu da...