Danu mulai membuka tas dan mengambil ijazah. Danu mempersiapkan melamar pekerjaan. Perusahaan besar di Cirebon saat itu salah satunya PTP. IIV. Sebuah perusahaan perkebunan atau biasa di sebut pabrik gula.
Orangtua Danu sangat senang melihat Danu kembali semangat. Danu mulai ambil mesin ketik dan membuat surat lamaran.
"Danu, apa kamu tidak mencoba datang ke kantor pertamina yang lama, siapa tahu diterima kembali. Kamu di sana sudah banyak menghasilkan prestasi. Pasti akan di pertimbangkan karena kemampuanmu yang luar biasa," tanya ayahnya Danu.
"Tidak, Ayah! Kerja di sana hanya akan mengingatkan aku pada Tuti," jawab Danu.
"Kalau kamu mau, kamu bisa kerja di PJKA, nanti Ayah bantu bicara pada pimpinan," ucap ayahnya Danu.
"Tidak. Ayah! Biarlah aku mencoba usaha sendiri, Ayah!" tolak Danu.
Danu memang dikenal anak yang cerdas. Di masa jaman Danu hanya sedikit orang bisa meneruskan kuliah. Danu tergolong orang yang lebih mengutamakan pendidikan. Di saat semua adik-adiknya Danu dan teman-temannya sudah menikah, Danu masih terus menempuh pendidikan.
Kadang manusia diberi kelebihan pada ilmu dan harta, tapi diuji yang lain dengan masalah cinta. Tiada yang sempurna manusia hidup di dunia, pasti semua akan mendapat giliran ujian dan cobaan.
Danu mengenakan kemeja dan celana katun. Danu memakai sepatu dan membawa koper kecil untuk membawa surat lamaran.
Danu melangkah berjalan dengan tegap. Tidak ada terbersit di pikiran Danu mengira-ngira akan diterima atau ditolak. Danu terus berjalan dan naik becak menuju jalan dokter wahidin.
Kantor megah sudah ada di depan Danu. Kaki Danu melangkah dengan percaya diri. Di depan meja Personalia Danu mengeluarkan semua aplikasi lamaran.
Tidak menunggu jawaban lama, Danu langsung di interview. Danu dengan lugas menjawab semua pertanyaan. Hari keberuntungan Danu, langsung diterima bekerja di PTP. IIV.
Danu di tempatkan menjadi analisis gula di Subang. Danu tidak banyak berpikir langsung menanda tangani surat tugas.
Danu kembali ke rumah disambut anak-anak. Danu belum menyampaikan pada anak-anak kalau Danu akan keluar kota. Anak-anak Danu masih terlalu kecil untuk memahami pekerjaan ayahnya.
Orangtua Danu sangat senang Danu diterima di perusahaan besar. Danu mempersiapkan pakaian dan keperluan untuk tugas.
"Kenapa kamu membawa pakaian anak-anakmu?" tanya ayahnya Danu.
"Aku akan membawa anak-anak, Ayah!" jawab Danu.
"Danu, pikirkan lagi baik-baik, kamu baru memulai kerja? Anak-anakmu bersama siapa di sana?" tanya ayahnya Danu.
"Aku akan mencari pembantu di sana, Ayah!" jawab Danu.
"Ayah, tidak setuju! Anak-anak masih kecil, belum tentu pembantumu mau membersihkan kotoran anak-anakmu, Maya juga masih kecil, dia sedikit rewel dan tidak mau dengan orang yang belum dikenal! Kangan bawa anak-anak!" tegas ayahnya Danu.
"Tapi, Ayah? Kasihan anak-anak tanpa aku, apalagi, Maya? Maya sangat dekat denganku, Ayah!" bantah Danu.
"Pokoknya Ayah tidak setuju! biarkan Maya di sini dididik Ayah! Kamu kerja saja dulu sambil melihat situasi di sana, Danu?!" ucap ayahnya Danu.
"Iya, baiklah, Ayah! Tapi hanya sementara saja, Ayah! Kalau aku sudah mapan di sana, aku akan ajak Maya dan adik-adiknya," ucap Danu.
Danu akhirnya menyerah dengan keputusan ayahnya. Menjelang sore, Danu mengajak Maya dan adik-adiknya ke makam Tuti.
Setiap kali Danu mengajak ingin menengok Tuti, anak-anak Danu sangat senang. Danu membeli banyak bunga untuk Tuti.
"Nah, anak-anak kita sudah sampai di rumah Mamah, ayo ucapkan salam untuk Mamah," ucap Danu.
"Mamah... " Maya dan adik-adiknya kompak memanggil nama Mamah.
Danu menunduk membaca doa, Danu terus memegang nisan Tuti dan mengelusnya. Surat Danu masih menempel di nisan Tuti.
"Sayang... aku datang ke sini untuk izin... aku sudah mendapatkan pekerjaan... aku akan penuhi janjiku untuk merawat anak-anak kita," lirih Danu sambil menunduk.
Danu menaburkan bunga di atas pusara. Maya dan adik-adiknya berebut bunga untuk ditaburkan di atas makam ibunya. Danu seperti enggan beranjak dari makam Tuti. Matahari hampir tenggelam, juru kunci mengingatkan Danu, "Sudah hampir petang, Mas! Kasihan anak-anak," ucap juru kunci.
"Titip makam istriku ya, Pak? jangan sampai makam istriku kotor," pinta Danu sambil memberikan uang untuk juru kunci.
Danu dan anak-anaknya pulang, tawa riang Danu bersama anak-anak terus menghiasai sepanjang jalan. Maya dan adik-adiknya tidak tahu ayahnya besok akan pergi ke luar kota.
Keesokan harinya Maya tidak mau lepas dari Danu. Maya seperti paham akan ditinggalkan Danu. Maya terus digendong Danu. Berbeda dengan adik-adiknya Maya, mereka justru tidak rewel.
"Papah kerja dulu, ya? Nanti Papah pulang beli mainan dan baju untuk Maya," rayu Danu.
"Maya, ikut!" teriak Maya.
Danu sangat berat meninggalkan Maya, Danu terus memeluk Maya dan menciumnya. Ayahnya Danu sangat terharu melihat Danu dan Maya begitu sangat dekat.
"Danu, berangkatlah! Nanti ketinggalan kereta, Maya biar Ayah yang urus! Nanti juga Maya diam," bujuk ayahnya Danu.
Danu mulai melepaskan Maya dari pelukannya. Ayahnya Danu langsung menggendong Maya. Danu begitu berat berjalan mendengar tangisan Maya.
"Ikut... Papah... ikut... " teriak Maya.
"Berangkatlah, semua akan baik-baik saja!" ucap ayahnya Danu.
Ayahnya Danu membawa Maya jauh dari Danu. Maya terus berteriak dan tidak mau diam. "Papah... Papah... ikut!" teriak Maya.
Dua jam Maya menangis, sampai akhirnya tertidur dipelukan mbahnya. Maya dibaringkan di tempat tidur.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Empat Anak Menggali Makam Ibunya Part I
Non-FictionEmpat anak menggali makam Ibunya Part I 40 tahun yang lalu adalah peristiwa yang tidak bisa aku lupakan, Ibuku meninggal dunia disaat aku berusia 5 tahun. Aku dan tiga Adikku mejalani hari-hari penuh kesedihan. Usia balita yang seharusnya...