🌔

2 0 0
                                    

"Terima kasih."

Setelah menolong seorang Ibu, balita dan anak gadisnya, aku hanya tersenyum dan berlalu menuju ke suatu bangunan. Lebih enak kalau itu disebut sebuah rumah daripada bangunan, meski memang banyak tempatnya yang berdebu.

Lingkungan di sekitar rumah itu tak ayal layaknya rumah-rumah pada umumnya. Jalan setapak, rumput-rumput landai, pepohonan kecil, jemuran, dan sebagainya.

Aku menuju tangga yang merupakan eksterior rumah itu. Ia didesain menempel pada dinding yang berupa besi yang berdiri vertikal berjarak sekitar 5-8cm satu sama lain. Karena besi yang jarang-jarang itulah, aku bisa melihat seisi ruangan di dalamnya dan seorang pria di sana.

Dia berbicara dengan seseorang via telepon. Karena memunggungiku, ia tak menyadari kehadiranku. Dia tampak... gusar.

Dilepasnya ponsel tersebut dari telinga dan pipinya.

"Aku mohon, sekali lagi." Kini ia ganti mode menjadi video call. "Sekali lagi."

Kim... Namjoon.

Pada ponsel itu, kudapati seorang pria bule berbadan sekal dan berambut gondrong berucap sesuatu padanya. Kelihatannya Namjoon ingin membuat lagu baru dengan bantuan pria itu. Namun entah apa yang terjadi hingga ia harus memohon begitu.

Ia terlalu... bekerja keras.

Tak lama aku berdiri di sana dan segera menaiki tangga.

"Kenapa," langkahku sempat berhenti di salah satu anak tangga, "ia kelihatan sangat lovely jika bekerja keras seperti itu?" gumamku.

Rasa kagum -dan bucinku- membuncah hingga tak sadar aku tersenyum sendiri mengingat Namjoon tadi.

Earphone putih ini masih menyumpal telingaku. Langkah-langkah kulanjutkan hingga hampir kulewati lantai tempat Namjoon berada. Hanya saja, seseorang mengikutiku di belakang.

"Hey,"

Aku menoleh. Rupanya itu Jae.

Bisa kurasakan langkah terakhirku berpijak terlalu keras pada tangga, hingga dalam hati aku khawatir Namjoon akan terganggu oleh suaranya. Tapi kemudian aku ikut berjongkok bersama Jae di tengah-tengah anak tangga.

Kami pun saling berbisik.

"Ada apa?" tanyaku sambil melepas earphone yang kutandai huruf 'R' dengan spidol merah di kotak microphone-nya itu.

"Ibu-ibu tadi..., temanmu, kan?" tanyanya. Senyum tanggung terukir di wajahnya.

"Iya. Kenapa?" tanyaku bingung.

"Dia ingin menemuimu. Tapi kusuruh ia menemuimu di lantai paling atas."

Dahiku mengernyit. Kenapa dia menyuruh kami bertemu di lantai atas kalau sebenarnya aku bisa turun sejenak untuk menemuinya? Namun Jae tak membiarkanku berpikir terlalu lama dan mendorongku paksa ke lantai paling atas.

Lantai paling atas tampak kosong dan berdebu layaknya parkiran mal. Dan ujung anak tangga ini mengarah tepat ke sebuah ruangan kaca. Letaknya paling pojok dari sudut lantai ini.

Jae mendorongku masuk ke sana dengan paksaan hingga aku jatuh terduduk di dalam ruangan itu. Ia tidak begitu peduli sementara aku masih bingung : ada apa dengannya?

"Tapi, Jae. Kenapa?" tanyaku setengah merintih karena jatuh.

Lelaki ini aneh, pikirku. Lebih aneh lagi sekarang kami hanya berdua dan entah kenapa itu membuatku gugup. Pikiranku campur aduk. Sebenarnya apa yang Jae inginkan?

Setelah kutanyai begitu, Jae tak lantas menjawab. Melainkan ia segera menyergapku. Wajah kami sudah tak berjarak lagi. Hidung dan setengah bibir kami saling bersentuhan. Oh God, entah bibir siapa ini di antara kami, tapi terasa agak kering.

"Sudah, duduklah sana. Kau diam saja dan turuti perintahku, oke? Kau mengerti?"

Demi Tuhan!

Nafasku tertarik. Rasanya bagai disambar petir. Tak berhenti sampai Jae yang aneh dan menempelkan wajahnya pada wajahku itu. Tapi dengan sembrononya, dia menggerakkan bibirnya yang masih menempel dengan bibirku, berucap dengan nada rendah, sambil tersenyum nakal!!

Shit! Bahkan setelah wajah kami berjauhan hingga jarak yang normal, senyum itu masih melekat di wajahnya. Jae sudah gila, aku rasa.

Aku buru-buru menyambar salah satu kursi yang berjejer di belakangku itu. Dan dalam waktu singkat aku sudah duduk di atasnya.

"Jae, aku ingin bicara sesuatu." Sayangnya ucapan itu hanya tertahan di batinku. Karena akhirnya Ibu-ibu tadi, balita dan anak gadisnya datang.

Kali ini dengan senyuman tulus, Jae membukakan pintu dan mempersilahkan mereka masuk. Bahkan ia memberikan kursi hijau yang sama seperti yang kududuki saat ini untuk beliau.

***

My Lastnight DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang