B90

128 28 5
                                    

Dasar

"Kemarin gue udah berpikir, ternyata cara gue ajar lu itu salah." Ucap Ciko.

Di tengah kesunyian yang tidak biasanya ini, Yudan mengangguk tampak mengerti. "Gue juga tau lu selalu salah."

Jala mengernyit mendengar ucapan Yudan. Dia melirik sebentar ke arah kedua sahabatnya, lalu kembali sibuk dengan rumus. Jala sudah bertekad untuk mengambil mata pelajaran pilihan Kimia saat UN kelak. Dia merasa Biologi terlalu sulit untuk dipelajari, terlalu banyak bahasa latin dan kelompok-kelompok yang harus dia kenali. Dia hanya tahu Mamalia, lainnya dia benar-benar buta.

Sedangkan Doni masih bertahan dengan pilihannya. Dia tidak pandai dalam pelajaran yang memerlukan terlalu banyak hitungan. Jangankan menghitung secara manual, dia bahkan sering salah ketika menggunakan kalkulator. Sehingga Biologi, satu-satunya harapan hidup dan matinya di depan komputer ujian nanti.

Heri pindah pilihan dari Sosiologi ke Ekonomi saat mengetahui Jala akan memilih Kimia. Dia juga memberi alasan yang sama seperti Jala, katanya Sosiologi memiliki banyak bahasa kemanusiaan yang tidak dia kenali. Membuat para sahabatnya berpikir jika Heri tidak berperikemanusiaan, dia adalah calon kejahataan di masa depan. Maka, sangat berbahaya membiarkan Heri dan masa depan bersatu.

Ogi belum diketahui pilihannya. Jika harus memilih, dia lebih memilih tidak mengenal Heri.

Di ruangan dengan suhu yang pas, mereka berenam tergelam dalam rumus dan konsep. Ya, Yudan juga hampir tenggelam, sayangnya ponsel pintarnya menarik kembali kesadarannya semula. "Nah, waktunya istirahat satu jam. Dari tadi gue udah belajar. Lelah."

Ciko menaikkan sebelah alisnya dan menoleh ke arah jam dinding. Mereka belajar setengah jam, dan Yudan meminta istirahat satu jam. Logika macam apa itu?

Tapi, Ciko menolak untuk berkomentar. Lebih baik memberi kesempatan sahabatnya yang lain menyampaikan isi hatinya.

"Sejam kelamaan, goblok!" Geram Jala dengan tatapan menusuknya.

Yudan mendengus kesal, "Dih, lu belajar aja terus sampe botak. Otak gue itu berharga, harus dirawat sebaik mungkin."

"Hehe, otak udang." Sambung Heri yang mendapati pelototan mata dari Yudan.

"Dasar Heri guk guk guk!" Ujar Yudan kesal.

Ciko menggelengkan kepala pelan, dia berjalan ke rak bukunya dan mengambil satu buku yang telah dia siapkan semalam. "Yud, lu gak usah pelajari itu. Terlalu berat untuk otak lu yang berharga, takut rusak." Ucapnya sambil tersenyum geli.

Yudan menatap Ciko datar, lelucon sahabatnya yang satu ini selalu terdengar menyebalkan. "Itu tidak lucu, Cik."

Ciko berjalan ke arah Yudan, dia meletakkan buku yang baru saja dia ambil dari rak buku ke wajah Yudan. "Ini yang lu butuhkan."

"Itu buku apa, Ko?" Tanya Doni penasaran.

Ciko tersenyum tipis, "Buku dasar Matematika."

Yudan menarik buku yang ada depan mukanya dengan kesal, "Gue bukan anak SD."

Senyum Ciko semakin lebar, "Tenang saja, mempelajari itu gak akan membuat kepala lu botak."

Yudan benar-benar kesal mendengar ucapan Ciko. Apalagi dia mengatakannya sambil tersenyum seperti itu. Benar-benar mendiskriminasi kepintaran seseorang.

"Gue hanya bercanda." Ucap Ciko saat melihat Yudan siap meledak. "Gue rasa lu perlu belajar dari dasarnya lagi, itu bukan berarti lu anak SD. Gue juga suka mempelajari materi dasar, buktinya gue punya banyak buku tingkat SD dan SMP." Lanjut Ciko dengan nada yang seimbang, tidak rendah, tidak pula tinggi.

Yudan menatap ragu Ciko, lalu mengalihkan perhatiannya ke buku yang ada di tangannya.

"Jadi?" Tanya Ciko sambil menatap lurus Yudan.

Yudan mendengus, "Hmph, awas saja kalo gue masih peringkat terakhir."

BoysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang