Bagian 13

16.1K 1.6K 360
                                    

Panji merasa bersalah saat menolak makan paginya bersama adik yang kini sudah menjadi istrinya itu. Tapi ia juga tak bisa berbuat banyak saat yang ada di pikirannya hanya perempuan tercinta yang kini berada jauh dari jangkauannya.

Tadi pagi otaknya benar-benar buntu. Ketidakpatuhan Hayu pada keinginannya membuatnya ingin marah. Panji sadar, sejak awal kesalahannya cuma satu. Saat ia memutuskan menerima perjodohan itu hingga akhirnya menjadi seorang suami, ia belum sanggup berpisah dengan perempuan yang sampai detik ini masih menjadi kekasihnya. Masih memenuhi ruang hatinya, dan Panji ingin mengutuk dirinya sendiri. Ia merasa bersalah. Tak ada sebutan yang pantas untuk menggambarkan sosoknya, selain pencundang berengsek tak tahu terima kasih.

Saat bersama Dian, Panji juga tak pernah menampik adanya nyaman yang ditebar dari setiap gesekan tubuh mereka. Hanya pada saat di mana keduanya terlalu intim, Panji bahkan bisa melupakan Hayu. Perhatian adik yang kini sudah menjadi istrinya itu, kelembutan, kepasrahan, keindahan rona pipinya saat malu, salah tingkahnya, semua menyihir Panji.

Selain itu, Dian juga bisa dibilang mandiri di usianya yang masih belia. Cekatan dalam segala hal. Mulai dari urusan bisnis, pendidikan, rumah tangga, dan mengurus dirinya. Dian hampir tak memiliki cela di mata Panji. Panji tak bohong, Dian istri yang sempurna untuknya. Seorang istri yang sesungguhnya dengan segala kesibukannya di dapur, dan kepandaiannya menciptakan rasa masakan yang sedap di lidah. Hanya saja, hati Panji belum bisa tertambat sepenuhnya pada gadis itu. Separuh atau bahkan lebih masih milik perempuan lain. Dan posisi ini membuat Panji nyaris gila. Secara tidak langsung ia telah bermain-main dengan perasaan dua wanita yang sangat disayanginya.

Di saat poros otaknya masih berkelana, berperang dengan nurani yang terus bertentangan arah tujuan yang tepat, manusia yang menjadi satu-satunya sopir pribadinya ini menambah pikiran Panji semakin kacau.

"Mungkin sikap dokter Hayu ada hubungannya dengan Mbak Dian, Pak."

Sejak kapan manusia satu ini ikut campur urusan Bosnya. Panji mengangkat kepalanya dari layar ponsel untuk menatap laki-laki yang sibuk menyetir di depannya. "Maksudmu?"

"Waktu itu, saat Bapak menyuruh saya untuk jemput dokter Hayu, kalau tidak salah hampir sebulan yang lalu. Saya melihat Mbak Dian di dalam ruang praktiknya dokter Hayu. Saya nguping, Pak. Pangapunten."

Panji melotot. "Nggak usah ngarang. Ruang praktik Hayu itu kedap suara, gimana kamu bisa dengar?"

"Sa'estu Pak. Mboten sedoyo ruang praktik dokter Hayu kedap suara. Engkang pinggiran kota."

Benar juga. Tidak semua ruang praktik Hayu kedap suara. Rumah sakit pinggiran itu merupakan rumah sakit lawas. Bangunan lama yang belum pernah mengalami renovasi ulang. Bahkan tidak perlu melakukan renovasi ulang hanya untuk memasang peredam suara karena pemasangannya pun mudah dan simpel. Hanya perlu menyiapkan gulungan busa, karpet glasswoll, gymsum board. Menurut Panji setiap ruang praktik harus kedap suara, untuk menjaga privasi pasien. Bila menemukan orang kepo seperti manusia di depannya ini, akan sangat rugi rumah sakit itu. Baiklah, bukan itu yang ingin ia bahas di sini. Panji kembali fokus mendengarkan informasi yang akan sopirnya ungkap.

"Memang apa yang kamu dengar? Jangan coba-coba ngarang."

Panji tidak menyangka adiknya yang kini sudah menjadi istrinya itu akan berani mendatangi Hayu. Bahkan sampai mendikte Hayu untuk menjauhinya. Disebut lancang sih tidak, tapi bagi Panji apa yang dilakukan Dian sungguh luar biasa berani.

"Jadi semua karena Dian? Kupikir sikapmu yang aneh ini gara-gara Bunda."

Perempuan di sampingnya ini menampilkan raut putus asa. Mungkin karena sudah lebih dari lima kali Panji mengulang topik yang sama.

"Anak buahmu yang satu itu emang rumpi ya? Laki kok rumpi. Makanya aku ogah disopirin dia. Mending aku numpang Lingga ketimbang pulang sama sopirmu itu."

"Enggak usah nyalahin orang. Dia sama aku udah lama, jelas dia akan cerita apapun itu yang menyangkut Bosnya."

"Iya, iya. Tapi dia itu rumpi. Nggak sopan. Ngapain dia nguping-nguping segala? Nggak sopan namanya. Harusnya kamu jadi Bos bisa nasihatin anak buah. Setiap manusia itu butuh privasi, tindakannya nggak sopan. Bahkan bisa kena pasal! Seorang Bos itu harus jaga wibawa. Di mana wibawa kamu kalau anak buah aja bisa ikut campur urusan pribadi Bosnya. Lebih-lebih semua tentang Dian. Dian itu istri kamu. Istri itu pakaian suami, begitu sebaliknya."

Perempuan ini! Bisa-bisanya malah mengomel. Panji tak menanggapi dan semakin menekan pedal gas lebih kencang lagi. Harusnya di sini Panji yang marah-marah, bukan perempuan yang meskipun sedang jutek tetap terlihat cantik di matanya.

"Aku berhak menentukan pilihan hidupku saat pacarku memilih menikahi wanita lain. Lagi pula, apa yang dilakukan Dian nggak salah. Seandaikan aku ada di posisinya, aku pasti juga akan melakukan hal yang sama. Bahkan lebih sadis. Aku nggak akan segan-segan membunuh perempuan yang berani mendekati suamiku."

"Kamu nggak kepengaruh sama omongan Dian, kan? Jangan terlalu diambil hati. Nanti aku coba kasih pengertian ke dia."

"Jangan lakukan apapun, Panji! Kalau kamu nggak mau nyesel, jangan bicara apapun sama Dian. Berapa kali aku ngomong, yang dilakukan Dian nggak salah. Sebagai istri Dian udah bener ngelakuin itu."

Panji memilih tak mendebat. Otaknya lelah sampai ke tubuhnya. Jadi ia memilih diam. Sampai kendaraan darat yang Panji lajukan memintas jalan, berlawanan arah tujuan.

"Loh, loh, kita mau ke mana?" Hayu mengamati sekitar. "Ini kan arah ke apartemen?"

Panji menyeringai. Tertawa keras dalam hati. Aku butuh dihibur, Yang! Dan sedikit memberimu hukuman. "Aku nggak mau ngambil banyak risiko saat kepalaku masih mumet. Bunda nggak akan diem kalo tahu aku jemput kamu."

Aku, Kamu dan Pengikat (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang