Ruang tunggu sudah sepi. Hanya tersisa Arkan, Risya dan Raka. Awalnya hanya Arkan dan Raka yang akan menunggu namun Risya memaksa ikut menunggu. Ia tidak akan bisa istirahat jika keadaan Zara begini.
Arkan menunduk dalam. Saat tadi dirinya dihubungi Zara, ia sungguh panik dan bergegas ke kantor polisi.
Setibanya di lokasi pun, ia langsung berdiri kaku melihat tubuh Zara tergeletak tak berdaya.
Melihat Zara yang baru memegang dadanya atau berkata ia sulit bernafas itu membuat Arkan seakan ingin memarahi dirinya. Kenapa tidak dia saja yang sakit?
Apalagi ia melihat kondisi adiknya tadi? Rasanya dunianya berhenti begitu saja.
Pandangan Risya kosong. Ia begitu menyesal meninggalkan Zara begitu saja. Seharusnya ia mengajak Zara berbicara tadi. Memperbaiki hubungannya dengan sahabatnya itu.
Jika saja itu ia lakukan, Zara pasti baik-baik saja sekarang. Bahkan bagi Risya, bernafas lega saja begitu sulit. Seakan ada yang mengganjal dihatinya.
Ada yang membuat mulutnya enggan terbuka. Membuatnya selalu merasa kenyang meskipun ia baru makan hanya tadi pagi. Istirahat tadi pun ia tak selera makan melihat kepergian Zara.
Air mata kembali mengalir di pipi Risya untuk kesekian kalinya.
"Udah, Sya. Kita harus tegar. Jangan hukum diri Lo sendiri. Mending Lo pulang. Biar gue sama kak Arkan yang jaga Zara. Kalau ada apa-apa, gue pasti kabarin Lo lebih dulu." Raka berusaha menenangkan Risya meskipun hatinya juga terasa tidak tenang.
Jika terjadi sesuatu pada Zara, ia sungguh akan membenci dirinya sendiri. Dan tentu saja membenci Agung. Lelaki itu ... Benar-benar tidak bisa dimaafkan! Rahang Raka mengeras.
Namun pandangannya kembali luluh. Ia menatap Risya dengan sendu. Ia berusaha tersenyum. "Pulang gih. Zara bakal sedih liat keadaan Lo kacau kayak gini."
Risya bangkit dari duduknya. "Kalau ada apa-apa, kabarin gue lebih dulu. Awas yah kalau yang lain tau lebih dulu. Lo gue terkam nanti!" ancam Risya. Ia menatap tajam Raka.
"Iya."
"Jagain Zara loh! Awas kalau Lo ninggalin Zara!" Risya masih menatap tajam Raka.
"Iyaa, Risya! Ya Ampun."
"Kak Arkan, Risya pulang yah. Udah malem banget. Kalau ada apa-apa kabarin Risya yah?" Risya pamit pada Arkan.
"Iya, Risya."
Setelah kepergian Risya, Raka mengajak Arkan untuk shalat isya terlebih dahulu. Itu utama. Tak ada gunanya jika hanya diam tak melakukan apa-apa bahkan melupakan Allah.
Lebih baik mereka berdoa. Setidaknya mereka tidak diam saja untuk kesembuhan Zara. Mengadukan segala rasa bersalah pada Sang Rabbi. Itu lebih melegakan hati.
***
Berhari-hari, semua sahabat dan keluarga Zara bolak-balik menjenguk Zara. Dengan harapan semoga gadis manis itu cepat sembuh.
Berbeda dengan Zara yang dikunjungi banyak orang, lain halnya dengan Agung. Hanya tiga orang yang setia menunggunya. Terutama neneknya.
Berhari-hari ia tak henti-hentinya meneteskan air mata. Berharap cucunya itu segera sembuh.
"Lo cepet sembuh napa, Gung. Gue sama Nando butuh penjelasan. Sebenernya siapa yang nyerang Lo? Gue kira pesan Lo tuh cuma bercandaan doang." Ray berbisik pada Agung yang masih terbaring lemah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sederas Hujan
Teen FictionSederas Hujan, terlalu banyak aku terjatuh. Namun aku tak setegar hujan yang memberikan kehidupan meski jatuh berkali-kali. Bisakah aku bangkit? Bahkan bernafas pun sulit. Sungguh takdir membuat mereka keliru dengan skenario-Nya. Bahkan untuk yang...