"Saya ingin menikahimu." Kalimat yang keluar dari mulut pria bernama Garin berhasil membuat gadis yang duduk di seberangnya terkejut. Mereka saling berhadapan di ruang tamu rumah sang gadis bernama Azalea. Seketika, wajah yang sedari tadi ia tundukkan, terangkat untuk menatap asal suara. Wajah cantiknya menyiratkan rasa tak percaya.
Masih jelas dalam ingatan Azalea. Malam itu, di tengah rasa gundah gulana sebab sang ayah yang tak kunjung pulang padahal malam mulai larut, dua orang berseragam polisi tiba-tiba datang ke rumahnya. Menyampaikan kabar berita yang berhasil membuat Azalea serupa burung yang dipanah tepat di jantungnya. Lututnya seketika seperti dipukul tongkat dengan kuat-kuat. Lemas, sesak bercampur sedih yang tak terkira. Sang ayah meninggal dunia. Disampaikan oleh petugas kepolisian bahwa orangtua tunggalnya itu menjadi korban kecelakaan di salah satu jalanan pusat kota. Azalea kehilangan satu-satunya kekuatan dan penopang hidup.
Kini, pria yang mengakui bahwa dirinyalah yang bertanggung jawab atas tewasnya sang ayah, duduk bersama seseorang yang Azalea cukup kenal. Melihat sang gadis tak juga memberi jawaban, dia kembali bersuara.
"Saya harus bertanggung jawab atas kesalahan saya. Kudengar kamu kini sebatang kara setelah--" Garin menghentikan kalimatnya. "Maaf. Sekali lagi saya minta maaf," lanjutnya dengan sedikit menurunkan pandangan. Menunjukan rasa bersalah.
"Alea ...." Kini giliran sosok disampingnya yang bersuara. Rey. Azalea cukup mengenal siapa pria ini. Dia adalah putra dari teman sesama guru ibundanya. Mereka saling mengenal saat sama-sama masih kecil, sebelum ibunda Azalea meninggal dunia.
"Garin ini sahabatku, Alea. Aku mengenalnya dengan baik. Izinkan dia menebus kesalahannya," lanjut Rey. Pria yang Azalea ingat berusia lebih tua lima tahun darinya.
"Saya tak memintamu menjawabnya sekarang. Tiga hari lagi saya akan datang kembali. Saya harap, kabar baik yang akan saya terima."
Azalea kembali menatap ujung kerudungnya. Lirih dia berkata, "Iya. Beri saya waktu untuk berpikir."
Rey tersenyum samar menatap sahabatnya dan dijawab anggukan kepala oleh Garin. Keduanya lantas pamit pulang. Meninggalkan satu keranjang buah di atas meja, dan kebingungan di hati gadis yang hanya diam menatap punggung dua pria yang semakin menjauh dari pintu.
Selepas kepergian keduanya, Azalea masih bergeming, menatap buah-buahan yang dibawa pria itu. Memikirkan nasibnya ke depan. Ibundanya meninggal dunia saat dirinya remaja karena kanker serviks. Membuat Azalea hidup hanya berdua bersama sang ayah. Saling menguatkan. Kemudian kini, saat menginjak usia dua puluh dua tahun, dia kembali kehilangan orangtua satu-satunya dengan cara yang tragis.
Sebetulnya, masih ada satu kerabat yang bisa ia tumpangi untuk hidup. Bibi Ratna. Namun, melihat keadaannya yang hanya seorang buruh cuci dengan empat anak yang semuanya masih sekolah. Sementara sang suami sama seperti ayahnya, tukang ojek online. Keadaan mereka yang demikian membuat Azalea takut keberadaannya hanya akan menjadi beban.
Di tengah kebingungan, malam ini datang seorang pria menawarkan jalan keluar. Pernikahan. Yang paling membuatnya bingung adalah, apakah iya, dia harus menikah dengan seseorang yang sama sekali tidak dia kenal? Bahkan namanya saja baru dua hari ini dia ketahui. Meskipun keduanya sering kali bertemu akhir-akhir ini. Saat pria itu menemuinya di rumah sakit dan nyaris berlutut meminta maaf. Saat pria itu datang ke acara pemakaman, menungguinya yang tak kunjung mau meninggalkan pusara sang ayah. Kemudian malam ini, saat pria itu menyampaikan maksud kedatangannya.
Haruskah dia menikah dengan orang yang hanya ingin bertanggung jawab atas kematian sang ayah? Padahal dari dulu, ia ingin sekali menikah karena cinta. Bukan karena rasa kasihan kepada dirinya, atau rasa bersalah seperti sekarang ini. Lagipula, sebenarnya Azalea sudah tak ingin lagi memperkarakan penyebab kematian sang ayah. Ini sudah bagian dari takdir Sang Maha Pencipta, Azalea meyakini itu.
Azalea dalam dilema. Dalam keheningan, ia teringat sang ayah tercinta. Bahkan gundukan tanah makamnya masih basah dan bunga-bunga tabur pun masih menyisakan wanginya.
Gelegar guntur terdengar dari tempatnya bermenung. Kilat petir saling menyambar di langit. Hawa dingin mulai masuk melalui celah-celah jendela rumah kecil itu. Wajah langit ikut bermuram dan siap menumpahkan airnya. Azalea meringkuk memeluk kaki. Pikirannya mengembara dengan batin merintih. Benarkah mulai sekarang ia akan hidup sebatang kara? Merasakan sepi dan dingin seorang diri. Atau akan menerima pria asing itu di kehidupannya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Azalea (Bukan) Suami Impian
Teen FictionJika aku adalah hitam. Serupa bunga Azalea, kau yang akan memberi kehidupan dengan banyak warna cantik (Garin Nugroho) Pandanglah aku. Segala akan bermuara kepada satu rasa, Cinta. jika engkau masih tidak percaya, tatap bening mataku. (Zaida Azalea)