Bagian 15

17.9K 1.9K 352
                                    

Definisi sebentar yang dijanjikan seorang suami pada istrinya bukanlah hal yang bisa dianggap sepele. Banyak pengharapan yang tertanam dari satu kosakata itu. Setya mengatakan akan kembali secepatnya namun ternyata tidak. Sampai keesokan harinya pria itu belum juga menunjukkan batang hidungnya. Perpesanan singkat yang coba Dian kirim tak mendapatkan balasan. Dibacapun tidak. Dian mencoba berdamai dengan cara pria itu memperlakukannya. Tangis dan sakit hati yang mulai menjadi kebiasaan akhir-akhir ini.

Dian membelokkan Mini Coopernya di sebuah mal yang cukup padat pengunjung minggu siang ini. Hari ini waktunya menenangkan otak yang payah dan perasaan yang gundah dengan berbelanja. Mempersiapkan printilan untuk kebutuhan konten vlognya.

"Sori, ada sedikit insiden, mobilku ditabrak orang!" celetuk Talia yang tiba-tiba muncul. Penampilannya sedikit kusut, mungkin karena alasan yang baru saja diutarakan.

"Serius? Tapi kamu nggak apa-apa, kan?" Seketika Dian mengoreksi tubuh di depannya.

"Baret banyak di bumper belakang. Kepalaku sempat kebentur setir. Tapi nggak apa-apa. Orang yang nabrak mobilku malah yang parah. Motornya masuk selokan. Tadi mobilku langsung aku masukin bengkel. Makanya aku rada ngaret."

Dian mengangguk prihatin. "Santai saja, aku juga baru sampai kok. Terus orangnya yang nabrak sekarang gimana?"

Talia mengibas. "Maksudku yang parah itu motornya. Kalo yang nabrak sih sama kayak aku. Palingan lututnya kebentur aspal. Tapi nggak apa-apa."

"Syukurlah!"

Mereka pun akhirnya beriringan memasuki gedung mal. Belum lama saat langkah keduanya tertahan oleh pekikan histeris. "KREASIDIAN BUKAN?!"

Seorang ibu paruh baya menahan lengan Dian, menatapnya berbinar, dan kembali meyakinkan pertanyaannya sendiri. "Eh bener, dek Dian! Nggak salah lagi. Pasti ini dek Dian, KreasiDian?"

Dian tersenyum mengangguk. "Iya, Ibu. Saya Dian."

"Ya Allah Gusti. Mimpi apa aku bisa ketemu dek Dian!" Ibu itu lagi-lagi berseru dan memeluknya. Dian pun tak keberatan menyambut pelukan itu. "Tante ngefan banget sama dek Dian. Semua video dek Dian di Youtube, pasti tante like. Eh boleh nggak ya kita ngobrol sebentar? Sebentar saja kok."

Dian mengangguk setelah memberi isyarat Talia untuk ikut gabung. "Mari, dengan senang hati."

Mereka memilih food court sebagai tempat mengobrol. Wanita paruh baya yang sudah memperkenalkan diri sebagai tante Dewi itu sangat bersemangat sekali membagi cerita, saat awal pertama jadi pengikut konten Youtube KreasiDian.

"Yang ngasih tahu anak tante, Dek. Katanya salah satu tontonan yang cocok untuk ibu-ibu hobi masak kayak tante. Dan ternyata bener, Youtubenya dek Dian itu membantu sekali."

Tante Dewi tampak seperti ibu-ibu sosialita yang milenial. Penampilannya sebelas dua belas dengan mamanya, modis dengan beberapa berlian menempel di leher dan pergelangan tangan. Tak lupa tas Hermes melengkapinya.

"Alhamdulillah. Saya senang kalau bisa bermanfaat," balas Dian mengusung senyum manis.

"Setiap kali dek Dian posting video baru, pasti langsung tante praktekin."

"Ohya? Padahal semua autodidak. Masalah dapur pastinya Tante jauh lebih berpengalaman."

"Loh, nggak percaya. Dek Dian ini ciri-ciri gadis muda yang langka. Tante lihat dari caranya masak luwes banget. Saat seusia Dek Dian dulu Tante nggak seperti itu. Menyambangi dapur aja jarang."

Dian tergelak ringan, "Tante terlalu memuji saya."

"Anak tante juga mulai bikin Youtube."

"Ohya? Tentang apa?"

Sedari tadi tante Dewi selalu memasukkan anaknya ke dalam topik obrolan ini.

"Nggak tahu ya. Dia suka bikin tips tentang kebugaran. Dia punya sanggar fitnes sih, mungkin itu." Ucapan tante Dewi terhenti saat meraih cangkir teh miliknya dan menyesapnya sekali. "Waktu itu dia kirim link ke tante pas video pertama baru saja diunggah. Tante liat penontonnya lumayan, Dek."

"Wah. Bagus itu, Tante. Selagi punya ide langsung aja direalisasikan. Youtube termasuk situs web berbagi video yang paling baik untuk menyalurkan karya." Dian memberi semangat.

Senyum tante Dewi terbit lebar. "Iya bener, Dek. Semoga ya bisa ketemu dek Dian lagi bareng anak tante. Pasti dia seneng banget. Boleh nggak ya tante minta selfie? Kepingin tante kirim fotonya ke dia. Kalau cuma ngomong doang mana percaya dia."

"Dengan senang hati." Mereka pun berpose dengan Talia sebagai pengambil gambarnya.

"Duh! Coba anak tante masih di Surabaya pasti seneng banget ketemu dek Dian."

"Memang anak tante sekarang di mana?"

"Dinas di Solo, Dek."

Oh berarti anak tante Dewi sudah bekerja. Dian kira masih mahasiswa atau pelajar. "Kasih saran bikin tutorial kecantikan, Tan. Beauty vlogger sekarang banyak yang nonton."

Tante Dewi sempat mengerutkan kening, sebelum meledakkan tawa renyah. "Wong anak tante cowok kok, Dek. Dia dokter Spesialis Ortopedi masak disuruh bikin tutorial kecantikan, yo nggak nyambung toh!"

Oh, astaga! Malu rasanya Dian. Tapi hebat sekali anak tante ini. Seorang tenaga medis yang menyandang gelar dokter spesialis, bahkan masih sempat berkecimpung dalam dunia maya yang notabene cukup menyita banyak waktu.

Usai dengan urusannya, Dian dan Talia kembali berkeliling. Mengunjungi salah satu kios yang menjual alat dapur.
"Jangan liat! Jangan liat!" Seru Talia tiba-tiba.

Dian merasakan kedua telinganya di tekan, dipaksa untuk tetap fokus ke arah depan. "Apaan sih, Li?! Sakit kupingku!"

"Dibilangin jangan liat!" Talia mengode Dian untuk berbalik arah. Dian melengos kesal. Dasar sinting! Maksudnya apa coba!

Seiring dengan arah pandangnya yang akan kembali fokus ke arah depan, sekitar 5 meter dari tempatnya berdiri, Dian menangkap dua sosok yang sangat ia kenal tengah memilih-milih sesuatu barang di salah satu kios.

Deg. Deg. Deg.

Seketika bumi terasa berhenti berputar. Menyerap seluruh udara di sekitar Dian dan membuat tubuhnya langsung kaku. Jantung Dian berdetak abnormal. Ternyata, menyaksikan kebersamaan mereka secara langsung rasanya seribu kali lebih menyesakkan dada. Siapa sangka, hanya dengan melihat Setya membenarkan letak poni perempuan lain efeknya bisa sangat dahsyat melukai hatinya. Tangan lelaki itu, yang Dian harap hanya akan menyentuhnya, dilakukan pula untuk perempuan lain.

Dian sakit menghadapi kenyataan ini. Bahkan pori-porinya pun ikut merintih menyaksikan perhatian-perhatian manis lelaki itu. Kebersamaan mereka mencabik perasaan Dian. Meluluhlantakkan hatinya.

Dian merasa kalah. Pertahanannya runtuh. Keyakinan untuk membangun rumah tangga bahagia dengan lelaki yang ia yakini bisa menjadi tempatnya bersandar, hancur sudah. Kesakralan ijab kabul yang mereka jalani dinafikan seolah tak ada arti.

Dian membuang muka saat Setya menyadari keberadaannya, wajah Dian sudah basah oleh air mata. Dian berlari meninggalkan tempat itu. Tempat yang mungkin akan menjadi tempat keramat. Tempat yang tak akan sudi Dian kunjungi karena pasti akan mengingatkan dirinya pada rasa sakit.

Aku, Kamu dan Pengikat (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang