Amarah

87 6 0
                                    

Aku menarik koperku dengan sangat malas. Rasanya aku tidak ingin lagi menginjaki kaki di Indonesia saat mengingat nasibku yang sangat malang itu. Namun, rasa penasarankulah yang membunuh rasa malas itu. Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi selama aku tak di sini. Jika aku tak mendapatkan kebahagiaan itu kembali, aku sudah tekat untuk mencari kebahagiaan di tempat lain. Jauh dari jangkauan Bumi.

"Mau saya antar sampai ke rumah?" tanya Danish yang kini berjalan mengsejajari langkahanku.

Kulirik di sekilas. "Aku bingung Danish," ujarku yang berjalan menuju ke kursi tunggu. Dan kududuki kursi itu untuk menenangi perasaanku yang sedang bercampur-aduk ini. Sulit kuungkapkan perasaan apa yang sedang kurasakan saat ini.

"Apa yang kamu bingungkan?" tanya Danish yang ikut duduk di sampingku.

"Aku bingung dengan keadaan yang menimpaku. Sebenarnya, dia anggap apa aku ini!"

"Kamu belum tahu jawabannya apa kalau kamu belum menanyakan langsung padanya. Ini sudah jam 9. Jadi, kamu mau kuantar ke rumahmu, atau ke rumah Tuan Bumi?"

"Haruskah aku ke rumah Bumi sekarang?" tanyaku yang tiba-tiba saja merasa ragu dan putus asa. Aku takut, kehadiranku merusak segalanya atau aku semakin hancur.

"Kenapa kamu kelihatannya menjadi ragu seperti ini? Bukannya ini tujuanmu untuk pulang cepat?" tanya Danish yang kini wajahnya menghadap ke arahku yang terus menatap ke depan.

Aku menganggukkan kepalaku. "Ya! Aku harus selesaikan masalahku dengannya. Tapi Danish, aku bingung. Aku harus apa?" tanyaku yang kebingungan. Sudah kukatakan bukan, aku tidak tahu perasaan apa yang kurasakan saat ini. Rasanya, hati ini sudah mati rasa. Hatiku sangat sakit sampai aku tak bisa merasakan keberadaanya lagi di jiwaku.

"Ikuti kata hatimu. Ayo! Akan saya antarkan kamu ke rumah Tuan Bumi."

Kurasakan tanganku diraih oleh Danish. Mau tidak mau kuraih koperku dan mengikuti langkahnya yang panjang. Ia menyuruhku masuk ke mobil yang aku tidak tahu itu milik siapa. Aku hanya bisa menurut saja. Tenagaku sudah habis dengan memikirkan nasibku yang berantakan gara-gara Bumi. Bisa kurasakan Danish duduk di dekatku tanpa menoleh ke arahku. Yang membawa mobil itu bukanlah dia. Aku tak kenal dan aku tak mau tahu siapa orang itu. Yang aku pikirkan saat ini, apa yang harus kukatakan saat bertemu Bumi nanti. Haruskah aku marah? Atau ... aku hanya bisa pasrah?

Semalam, aku sempat berpikir untuk menemuinya dan marah-marah. Tapi rasanya, itu bukanlah diriku. Kalau pun aku marah-marah, pertunangan itu tetap jalan bukan? Kalau pun benar ia hanya menganggapku seorang sahabat, aku bisa apa? Yang ada, aku hanya akan mempermalukan diriku sendiri. Tapi, aku berhak marah bukan? Memang sudah sepantasnya aku marah dan menampar pria tak tahu diri itu? Hah! Rasanya aku ingin memaki dirinya di depan umum. Tapi, itu hanya emosiku di belakangnya. Karena jika sudah di depannya, aku yakin diriku tidak bisa melepaskan emosiku.

"Danish ...," panggilku memecah keheningan di antara kami yang sedari tadi kami ciptakan. Kudengar ia berdeham sebagai jawaban panggilanku. "Apakah menyelesaikan masalah harus dengan marah-marah?" tanyaku yang ingin mencari solusi dan menentukan apa yang harus kulakukan nanti.

"Tidak! Tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan emosi yang meledak-ledak. Bicara baik-baik pun, itu lebih bagus dari pada marah-marah. Dan jika bisa menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, kamu hebat, Bulan," jelasnya panjang lebar. Kulirik dirinya yang selesai menjelaskan suatu hal yang kupertanyakan. Ia sangat tenang dan damai. Pandangannya tertuju ke depan dengan sangat tajam.

"Aku ... aku bukan tipe orang yang bisa marah di depan Bumi. Aku pikir, kalau aku nantinya tidak marah-marah, kamu akan tertawakan aku," ujarku mengutarakan isi hati kenapa aku menanyakan hal seperti itu.

Friend of Life and Death #Wattys2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang