04. Berdamai?

442 21 0
                                    

Untuk apa minta maaf jika tidak tulus. Minta maaf hanya untuk mengulangi kesalahan lagi, tidak berguna.

- Giska, Si Koki Cantik -

     ------------------------------------------------

         "Gis, kamu ada apa sih sama Arzen?" kini aku sedang memasak bersama bunda. Dan itu adalah pertanyaan yang tak ingin kujawab. Aku malas membahas tingkah menyebalkan si kutub.

"Bunda tanya saja sama si kutub. Dia yang memulai semuanya." Dengan malas aku menjawab.

"Kamu taukan bermusuhan itu tidak baik." Aku tau secara tidak langsung bunda sedang memintaku untuk minta maaf pada Arzen. Tapi, aku pura-pura tidak peka saja. Malas sekali minta maaf atas kesalahan orang lain.

"Apa bunda juga mengatakan ini pada Arzen?" Maafkan aku bunda. Tapi manusia itu memang tidak sebaik yang bunda lihat.

"Arzen tidak mungkin berbuat jahat. Bunda pikir kamu bisa lebih dewasa dari ini. 22 tahun, sayang. Harusnya kamu mengerti semuanya." Oke, katakan saja aku kekanakan. Tapi, apa menurut kalian aku salah? Dan Arzen bebas dosa? Tidak!

Aku tak menjawab. Bisa panjang urusannya. Lagian, berdebat dengan bunda aku tidak akan pernah menang.

"Lihatlah, Arzen sangat menyenangkan. Ayahmu terlihat baik-baik saja berbincang dengannya. Tidak mungkin dia berbuat menyebalkan padamu." Iya-iya aku memang salah dan selalu salah.

"Berapa lama dia akan tinggal disini?" tanyaku dengan sebal, karena kulihat wajah sok baik si kutub dihadapan ayah.

"6 bulan. Dia akan mengunjungi beberapa tempat wisata alam di Indonesia dan bunda pikir, kamu bisa menemaninya." Pernyataan konyol apalagi ini? Menemani si kutub berjalan-jalan. Bisa kupastikan aku akan tervonis sakit darah tinggi sepulangnya.

"Untuk apa? Aku kan kuliah, Bunda. Lagi sibuk-sibuknya. Nyusun skripsi akhir, sidang skripsi dan aku akan ujian praktek untuk wisudaku," jawabku seperlunya dan memang itu kenyataannya.

"Arzen bisa mengunjungi tempat-tempat terdekat dulu, setelahnya akan pergi bersamamu." Pergi berjalan-jalan bersama si kutub? Apa bunda yakin?

"Dia sudah dewasa bunda."

"Iya, tapi dia bukan orang Indonesia, belum pernah ke Indonesia. Pastilah butuh penjelasan ini-itu tentang suatu tempat." Pembelaan yang tiada henti. Diriku yang malang.

"Dia bisa mencari penjelasan di google, Bun." Dan lagi-lagi aku berargumen.

"Dia butuh ini untuk pekerjaannya, Giska sayang. Bagaimana mungkin seorang blogger traveler mencontek dari google. Ada-ada saja kamu ini." Aku terdiam. Cukup sudah berdebatnya bunda. Aku mengalah.

****

        Makan malam berlangsung. Ada ayah, bunda, aku, kak Argi dan musuhku. Rasanya nafsu makanku menurun karena melihat wajahnya yang duduk berhadapan denganku. Menyebalkan.

"Bunda sama ayah masih inget nggak, dulu waktu kita berempat liburan ke Spanyol?" tanya kak Argi memecah keheningan. Dia memang ahli dalam hal membuka pembicaraan.

"Inget dong," jawab ayah dan bunda bersamaan.

"Waktu itu Giska nangis waktu kita mau pulang." Kak Argi melihat kearahku. Dan semuanya juga. Katakan saja semua pasang mata tertuju padaku.

Salam Untuk Arzen [ On Going ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang