Kedai di ujung Desa Limantaka terlihat sepi. Di kedai kecil itu hanya terdapat lima meja dengan dua kursi panjang di setiap meja. Dua meja terisi oleh dua dan tiga orang, satu meja lagi hanya terdapat seorang pemuda tengah menenggak arak. Dua meja di dekat pintu masuk masih kosong. Rintik hujan sejak tadi mengguyur, menyebabkan orang malas untuk melakukan kegiatan.
Tiga orang berpakaian hitam-hitam tiba di pintu kedai. Seorang yang di depan memiliki perawakan pendek. Rambut keriting tertutup blangkon hitam kumal. Cambang bawuknya tak terawat. Otot menonjol terlihat jelas dari balik lengan pakaiannya yang basah. Golok tanpa sarung diselipkan di ikat pinggang. Sementara dua yang di belakang berperawakan sedang. Penampilannya tak se mengerikan yang di depan. Ketiga lelaki itu masuk lalu berkacak pinggang di depan pemuda yang telah menenggak empat kendi arak.
"Hei Bocah! Minggir! Kami mau duduk di sini!" sembur lelaki bercambang itu.
"Memangnya tubuhku ini kecil pendek, hingga ada yang menyebutku bocah?" sahut si pemuda.
"Tidak usah bertingkah! Nanti golokku yang bicara!" katanya sambil menenteng golok. Melihat itu, para pengunjung kedai lain segera menghabiskan makan dan melarikan diri.
"Memangnya golokmu punya mulut hingga bisa bicara? Hei golok? Kamu bisa bicara? Ayo ngomong!" pemuda tadi seperti ingin membuktikan ucapan lelaki itu. Dia bicara pada golok yang dipegang oleh lelaki pendek. Ketiga lelaki itu bertatapan, bingung oleh sikap pemuda ini.
"Kisanak, golokmu tidak bisa bicara, hei, empat meja di sana kosong, kenapa harus duduk di sini?"
"Ini adalah tempat Kakang Gendus! Dari sini dia bisa melihat Kinarsih dari dekat," kata salah satu lelaki sambil menunjuk gadis cantik anak pemilik kedai. Kinarsih mengendik. Sungguh, ia sangat membenci tiga orang itu!
"Jadi namamu Gendus? Hahaha..., Gendus, gendut dan jarang adus (mandi)! Haha...! Nama itu cocok sekali dengan badanmu yang bau!"
"Bocah edan!! Modar kowe!!" Gendus menyerang dari depan dengan golok terhunus. Pemuda edan itu sedikit menunduk hingga bagian lancip golok lewat beberapa helai rambut di atasnya. Rupanya pemuda itu hanya menepak nyamuk yang hinggap di betisnya.
"Dasar nyamuk nakal!" katanya sambil menggilas tubuh nyamuk dengan telunjuk. "Sedang apa Kisanak?" tanyanya heran. Gendus mulai marah. Ia kembali mengebutkan golok mengincar kepala si pemuda. Pemuda itu hanya menarik kepalanya hingga golok hanya menusuk angin. Dengan satu gerakan, sang pemuda menggebrak tangan dan pangkal lengan kanan Gendus. Lelaki itu terdorong. Dua rekannya pun hendak mengeroyok si pemuda. Masing-masing menghunus golok. Pemuda itu tetap tenang dan menenggak arak dari gelas bambu. Tangannya hanya menyusur permukaan meja hingga dua kendi kosong di depannya terlempar ke samping. Dua teman Gendus melenguh. Kendi-kendi itu telah menghajar wajah dan perut mereka.
"Mejaku telah bersih! Mari duduklah di sini, arakku masih banyak," ajak pemuda itu. "Hei Kinarsih! Bawakan lagi kendi tuak!" pinta si pemuda.
Masih dengan wajah masam Gendus memilih duduk di depan pemuda sinting itu. Kinarsih membawakan pesanan si pemuda. Meski dengan takut-takut ia mengantar ke meja. Tiba-tiba Gendus langsung menyambar kendi dari baki dan meletakkannya di atas meja dengan seringaian tertuju pada gadis itu.
"Terima kasih, Cah Ayu!" Kinarsih cepat-cepat meninggalkan meja.
Kembali Gendus menyeringai tapi tertuju pada pemuda di depannya. Menurutnya aneh! Penampilan pemuda itu sangat rapi dan bersih, tapi entah kenapa otaknya sedikit miring.
"Silahkan. Biar saya tuangkan arak dalam gelas Kisanak." Pemuda itu mengangguk dan menyodorkan gelasnya.
Gendus menyalurkan tenaga dalamnya pada kendi arak. Ketika arak dituangkan, pemuda itu merasakan panas pada air arak. Keretak suara gelas bambu pun lamat terdengar. Dan secara perlahan gelas bambu itu pun terbelah dua hingga isinya tumpah di atas meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Berdarah
Historical Fiction...Tak lama terdengar suara seraknya menyanyikan tembang macapat Pangkur. Mangkono ilmu kang nyata... Sanyatane mung we reseping ati... Bungah ingaran cubluk... Sukeng tyas yen den ina... Nora kaya si punggung amung gumunggung... Ugungan sadina dina...