"Cewek yang kemaren itu nembak kamu, Ja?"
Anza tersedak begitu mendengar pertanyaan Elbi. Ia segera minum untuk meredakan batuknya. Tetapi sebotol air mineral ternyata tidak cukup membuat hidung Anza terbebas dari rasa panas akibat bumbu pedas keripik singkong yang sedang dimakannya.
"Bener dia nembak kamu?" Elbi memastikan sekali lagi tanpa mebgasihani ujung hidung Anza yang memerah.
Anza berdeham sebentar, menetralkan rasa panas yang masih mengganjal juga dikerongkongannya. Mungkin Anza tidak akan memakan kripik singkong pedas lagi sementara waktu. Setidaknya selama Elbi berada di sekelilingnya. "Sok tahu!" sahut Anza.
Kedua mata Elbi memicing penuh selidik. "Ngaku aja, deh. Aku udah tahu kok kalo anaknya Om Ganteng yang satu ini banyak yang naksir," Elbi menuntut Anza untuk mengaku, tetapi sepertinya pemuda itu tidak peduli.
Elbi mendengkus karena Anza tak kunjung memberi jawaban. Pemuda itu justru sibuk menekuni buku yang baru saja dipinjamnya dari perpustakaan saat jam kosong tadi. Hal itu jelas membuat Elbi makin kesal karena merasa diabaikan. Mengapa sih Anza tidak mau mengaku?
"Jadi ..." Elbi mencoba mencari tahu dengan cara lain. "Dia itu udah cewek yang ke berapa?"
Di sela menyelami bacaannya, kening Anza mengerut samar. "Ke berapa apanya?"
"Yang nembak kamu."
Anza berdecak. Sedikit kesal dia menutup novel karangan Agatha Christie yang sejak tadi dibacanya. Analisis Hercule Pairot tidak lagi menarik minatnya. Semua karena Elbiana Bagaskara yang sok tahu dan serba ingin tahu. "Kakak Elbi dapat kabar itu dari mana?" Anza balas bertanya.
"Banyak yang ngomongin soal ini," jawab Elbi. Ia tidak mungkin mengatakan mengetahuinya dari Luna dan Raya. "Pokoknya aku kesel, karena kamu nggak jujur sama aku."
Kerutan di kening muncul kembali. "Nggak jujur soal apa?"
"Soal kamu ditembak cewek-cewek!"
Anza menggaruk pangkal hidungnya. Ia benar-benar tidak mengerti. "Memang apa saja yang terjadi sama saya, Kakak Elbi harus tahu?"
Elbi mengangguk tanpa ragu. "Harus dong!" Ia melanjutkan, "Aku aja selalu cerita apa pun sama kamu. Dari aku naksir kakak kelas waktu baru masuk SMP, kejebak friendzone waktu kelas 9, sampai waktu aku mulai naksir dan jadian sama Erlang. Aku ceritain semua. Masa kamu nggak? Nggak adil namanya!"
Bibir Anza menipis. Ia sebenarnya malas membalas perkataan Elbi. Tapi, lidahnya gatal untuk memberi klarifikasi. "Yang cerita siapa?"
"Aku!"
"Apa saya minta Kakak Elbi cerita?"
Elbi tidak menjawab. Memang benar, Anza tidak pernah meminta Elbi menceritakan serentetan kisah percintaannya.
"Kehendak Kakak Elbi sendiri, kan?" Kali ini Elbi mengangguk saja. "Masih merasa tidak adil?"
Elbi merengut. Untuk pertama kalinya Elbi tidak ingin kalah berdebat dengan Anza. "Yah, tetep nggak adil dong," katanya masih bertahan. "Aku cerita kan karena percaya sama Anja. Tapi, kamu nggak cerita apa pun. Berarti nggak percaya sama aku, dong?"
Anza memijat pelipisnya. Merasa mulai lelah dengan kengototan Elbi. "Bukan nggak percaya. Tapi saya merasa ini bukan hal yang penting. Ditembak atau apa pun istilahnya itu bukan suatu prestasi membanggakan yang harus dibicarakan."
"Kata siapa?" Elbi membalas tidak terima. "Taruhan, deh! Om Ganteng pasti seneng tahu kamu banyak yang suka, Ja!"
Anza tahu itu. Ia sangat mengenal Papinya. Maka dari itu, Anza enggan membahas masalah ini. Anza terlalu malas menjadi bulan-bulanan sang Papi kalau Papinya itu sampai mengetahui anaknya menjadi pemuda paling diinginkan di sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Something about Anza
Novela Juvenil"Yakin lo cuma nganggep Anza kayak Binno?" Elbi mengangguk tanpa ragu. "Yakin?" Pertanyaan diulang. Elbi mulai memikirkan kembali. Iya. Benar. Benar begitu?