Di lorong tangga darurat sebuah bangunan tua yang terbengkalai seorang pria berjanggut lebat susah payah meniti anak tangga. Napasnya tersengal. Peluh mengalir di pelipisnya. Detak jantungnya berdegup kencang seiring derap langkah kakinya yang semakin cepat. Sesekali ia terpleset lantas bangkit lagi. Seperti tak ada jeda untuk mengambil napas.
Ujung mantelnya menari nari laksana kepakan sayap. Topi fedora yang melekat di kepalanya tak terusik olah goncangan tubuhnya yang terus menaiki anak tangga. Tubuh Pria berjanggut lebat itu tersamarkan oleh pakaian serba hitamnya, melebur bersama gelap yang membungkus ruangan. Entah lantai berapa yang tengah Ia tuju. Bangunan tua itu memiliki 32 lantai, kondisinya sudah tak karuan di beberapa bagian dindingnya rubuh menonjolkan tulang tulang beton. Di sayap kanan bangunan tumbuh tanaman belukar. Di malam hari seperti ini bangunan tua itu nampak seperti bangunan angker di film film horor, nuansa kelam menyelimuti sekitar.
Lima menit kemudian, sekebat cahaya masuk melalui jendela yang menyisakan kusen alumunium di lorong tangga darurat. Menyiram pria berjanggut lebat, menampakkan siluet di dinding yang kusam. Diluar, suara sirine meraung kencang memecah lengang. Lampu sorot menembak badan bangunan, memindai ke kiri, kanan, atas, bawah. Belasan mobil taktis merapat. Dari dalam setiap mobil loncat dua tiga polisi detasemen khusus berpakaian robot dengan senjata super canggih melekat di tangan kanan dan kirinya, menambah kegagahan seragam mereka.
Polisi detasemen khusus mengeriap ke halaman bangunan tanpa pagar itu. Belasan jumlahnya. membentuk formasi. Senjata mereka mantap teracung mengarah ke titik titik jendela bangunan. Menunggu momen saat pria berjanggut lebat itu nampak batang hidungnya dibalik bingkai jendela.
Angin lembut berkesiur. Di langit bulan sabit menggantung, tertutup sedikit awan awan tipis. Bintang gemintang berhamburan di sekitarnya, memainkan mata. Bangunan tua itu bertengger dikaki bukit, jauh dari keramaian. Itu menguntungkan, tak akan ada yang terganggu oleh penyergapan polisi detasemen khusus. Mereka leluasa mengerahkan senjata apa saja untuk menangkap pria berjanggut lebat itu.
"Hai pria tua..!! Menyerahlah!! Aku bisa saja memerintahkan anak buahku memborbardir bangunan dengan senjata laser mereka, tapi oke Aku akan masih sabar dan berbaik hati memberikan kesempatan kepadamu untuk tetap hidup." Suara itu nyaring melalui pengeras suara berusaha mengalahkan dengung sirine dan desing suara baling-baling drone yang melayang merapat ke atap bangunan. "Sekali lagi keluarlah, setidaknya jika kau menyerahkan dirimu maka kami akan meringankan hukumanmu..!!"
"Pak komandan.., sampai kapan kau berbasa basi? Ingat, dia memiliki catatan kejahatan berat. Kali ini kesempatan emas kita untuk menangkapnya bila perlu membunuhnya. Percuma saja bila Ia di bawa ke meja hijau, pasti hakim akan mengetuk palu. Hukuman mati. Apa bedanya?" Seorang pria muncul di balik punggung pak komandan, memakai seragam taktis. Rambut cepaknya menunjukkan Ia bagian dari pasukan khusus yang terlatih. Namun tak seperti yang lainnya, Ia tak menenteng senjata super canggih.
Pak komandan menoleh padanya. Menatap lamat lamat. "Detektif Dion". Rahangnya mengeras, "Kau benar.., selama ini kita tak mampu menangkapnya"
Detektif Dion membalas tatapan pak komandan dengan anggukan takzim.
"Baiklah anak-anak, temukan dia !!" Pak komandan berseru melalui pengeras suara, memberi perintah. "Bawa dia hidup-hidup, Aku masih ingin mendegar penjelasan dan pembelaannya.." Sambungnya dengan nada pelan, Itu perintah untuk detektif Dion.
Sebagai balasannya detektif Dion mendengus kesal Itu bukan perintah yang Ia inginkan. "Kau memang bebal Pak..Kau akan menyesalinya" gumamnya dengan nada kecewa, melirik tajam Pak Komandan lantas balik kanan.
Tanpa disuruh dua kali, pasukan khusus itu cekatan merangsek ke dalam bangunan. Berpencar, tarbagi menjadi beberapa regu. Pemimpin regu masuk lebih dulu, memberi kode dengan tangannya. Bergerak waspada. Lawan mereka bukan begal jalanan bukan pula preman pasar. Dia penjahat nomer satu di negara. Licin sekali seperti belut, sudah belasan kali pasukan khusus berupaya menangkapnya namun selalu gagal.