sekarang

204 37 13
                                    

Aku tidak pernah menjunjung tinggi suatu kesempurnaan di dalam hidup, pun tak pernah yakin dengan apa yang bernama kebahagiaan, karena bahagiaku semu.

Bukannya hari ini aku tengah komplain tentang betapa kacaunya kehidupanku yang memang dari dulu begini-begini saja. Bahagia hanya rasa semu yang datang dan kembali, menggelitik sesaat pada saat aku mendapat telepon kalau aku diterima disebuah divisi kepolisian, kasus tertuntaskan, membeli botol anggur tua, atau akhirnya dapat bernafas lega saat masih kedapatan melihat langit sore.

"Seharusnya kita sering-sering seperti ini."

Aku menoleh, mempehartikan sisi wajah Hoseok sekilas sebelum labium ini memberi celah untuk mengeluarkan sebuah kekehan halus, "Kau sibuk menghabiskan waktu untuk mengacaukan dirimu sendiri."

Lalu dia tak mau kalah dengan membalas sinis, "Atau mungkin kau yang terlalu sibuk bercumbu dengan tumpukan berkasmu hingga aku dibiarkan."

"Manja."

"Memang."

"Kau sudah tidak cocok lagi untuk bermanja-manja."

"Kenapa? Karena sekarang aku sudah jadi ayah jadi tidak boleh bermanja-manja? Naya saja tidak pernah komplain."

"Aku bukan orang yang sedang dibutakan cinta."

"Makanya sekali-kali cobalah."

"Berisik," balasku sinis. Membuat Hoseok meninggalkan sebuah tawa kecil yang terbang di udara, kami berhenti untuk membeli sosis bakar di jalan kemudian berlanjut lagi melakukan perjalanan yang entah akan berhenti dimana. Semalam suntuk aku memikirkan konversasi jenis apa yang ingin aku lontarkan kepadanya, namun karena Hoseok saja yang terlalu rajin untuk menanyakan sesuatu atau mengejekku agar kami bisa saling sahut menyahut dengan satu sama lain.

Pertemuan kami menjadi sesuatu yang amat berbeda hingga jungkir balik jika dibandingkan dengan dahulu. Alkohol dan bir tergantikan dengan teh hangat atau milkshake, kedua matanya jauh lebih bersinar saat kami saling bersipandang, wanginya bukan percampuran antara bir dan rokok lagi melainkan minyak bayi dan aroma lembut yang selalu menguar ketika kami berpelukan singkat, senyumnya jauh lebih hangat, dan aku selalu merasa tertinggal seribu langkah dari dirinya. Awal baru yang kemarin-kemarin, agaknya membuatku sedikit kesepian.

Hoseok mengusulkan untuk mengajakku makan di restoran enak yang katanya harus mengantri untuk mendapatkan meja, aku sempat memberontak untuk mengatakan tidak dan hampir menggeretnya anarkis untuk makan di warung jalanan saja. Tapi disinilah kami berbaris dan menunggu. Sembilan puluh persen percakapan kami tidak jauh-jauh dari soal aku ataupun dia yang berujung pada ejekkan yang tak terhindarkan. Dia merengek betapa dia merindukan Jimin si bartender yang menjadi satu-satunya teman yang menemaniku di bar beberapa minggu terakhir, lalu aku mengejeknya;

"Bilang saja rindu minum alkohol sampai mampus."

"Diam," ujarnya memutar bola mata sarkastik. "Aku tengah meditasi, lagipula anggur bisa mengatasi kerinduanku."

"Yep, Ayah. Jangan sampai puterinya tahu kalau ayahnya berandalan." Aku terkekeh, Hoseok memasang wajah kesal dan itu menambah poinku. Setelah itu dia merogoh saku mantelnya dan mengeluarkan ponselnya sebelum menaruh benda pipih tersebut di daun telinganya, mulutku berkata siapa tanpa suara dan dia membalas Naya.

"Uh, aku baru saja ingin makan malam, ada apa? Oh, oke, jangan bergerak, oke? Aku pulang. No, it's fine. Sebentar, beri aku dua puluh menit, apa itu cukup?"

Senyuman dan dahi mengkerut itu yang membuat bibirku tertarik untuk mengeluarkan senyuman miris. Lantas kami---aku lebih tepatnya, keluar dari barisan yang kami usahakan duapuluh lima menit lamanya. Hoseok masih berusaha untuk mengajakku ke tempat makan lain sebelum dia benar-benar pergi karena panggilan rumah.

Dan yap, aku mengusirnya. "Naya membutuhkanmu." ucapku sambil mendorong bahunya. "Aku akan baik-baik saja."

"Jangan buat aku merasa bersalah."

"Jangan buat aku lebih merasa bersalah pada Naya."

"Dengar, kalian berdua—bertiga, sama-sama berharga untukku, oke? I'll make it up to you, okay?" Aku mengangguk mengiyakan saja, masih mendorong-dorong bahunya agar dia cepat pergi. Hoseok mengenggam tanganku erat, "I'll missed you."

"Yeah, see you next week, fucker."

"I deserve that."

hey julesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang