01

616 12 0
                                    

“Mba Uci! Mba Uci!”

Sayup-sayup aku mendengar anak kecil memanggilku. Aku yang berada di toko milik Bu Lia segera keluar dan berdiri di pinggir jalan. Aku melihat Namima, adikku yang berumur 7 tahun berlari dengan berderai air mata memanggilku. Tubuhnya yang gembal terlihat seperti bola yang menggelinding, aku hampir tertawa. Pasti dia dimaraih ibu karena minta jajan terus.

Oh perkenalkan, aku Suci Dalam Debu. Terdengar aneh memang, namaku mungkin satu-satunya di Dunia ini. Mirip judul lagu, bukan? Tapi itu benar-benar namaku. Saat aku lahir, desa tengah terjadi kekeringan panjang. Membuat orang harus menghemat air karena jarak dari sumber mata air sangat jauh. Saat aku lahir karena bapak batal berwudhu jadi dia tayamum kemudian mengadzaniku. Karena hal itu bapak menamaiku Suci dalam Debu, Suci yang bapak harapkan adalah suci anggota badan termasuk pakaian, dan suci hati.

Setelah Namima sampai dia menubrukku dan ku usap kepalanya. “Ada apa Na?”

“Ba-bapak mba.. hiks”

Aku mensejajarkan tubuh kami dan menghapus lelehan air matanya. Perasaanku mulai was-was. “Bapak kenapa?”

“Bapak jatuh nda bangun-bangun, aku dah bangunin. Ibu belum pulang.” Ujarnya yang masih terisak.

“Astaghfirullah.”

Aku menggendong tubuh gempalnya yang berat di punggung. Aku segera ke dalam toko dan meminta ijin untuk melihat keadaan bapak. Meski sudah bekerja hampir dua tahun di sini, aku tak pernah absen bekerja. Karena upah yang diberi dihitung perhari, jadi sayang jika tidak berangkat. Aku segera pulang begitu Bu Lia memberiku ijin.

Benar saja, bapak tengah terbaring di lantai tanah rumah kami. Aku segera mendekat dan mencoba membangunkannya tetapi tak berhasil. Aku meminta Namima untuk menunggui bapak selagi meminta bantuan pak RT.

“Pak RT tolong bantu aku. Bapak tidak sadarkan diri.” Pintaku pada Pak RT begitu bertemu dengannya.

“Ayo kita segera ke rumahmu.” Ajaknya setelah terlebih dulu meminta sang istri mencari bantuan.

Setelah kedatanganku dan pak RT, tak begitu lama banyak orang yang datang kerumah tak terkecuali bu Nurul, bidan desa. Bu Nurul mengecek keadaan bapak dan mencoba membangunkannya. Tapi sama sekali tidak ada respon dari bapak. Dia menyarankanku untuk membawa bapak ke ruamh sakit. Kami pun membawa bapak ke rumah sakit untuk menerima perawatan lebih lanjut dengan mobil milik pak RT.

***Mr. Bule***

Ibu datang selepas magrib, dari tetangga yang mengantar katanya ibu pingsan setelah mendengar bapak dirawat di rumah sakit. Setelah tenang dia diantar tetanggaku ke mari. Dia memelukku erat begitu sampai dan menangis sama seperti Namima jika dimarahi olehnya. Sedangkan Namima dititipkan pada tentangga.

“Sebernarnya ada apa?” tanya ibu setelah tetangga yang mengantar pergi.

“Bapak pingsan setelah mandi. Dokter mengatakan bapak stroke, bapak nda pernah mengeluh apapun pada kita, bu. Aku nda tahu bapak sakit, bahkan memendamnya sendiri.”

“Bapakmu memang cuek dengan kesehatannya. Dia pun tak pernah mengeluh sakit apapun pada ibu.” Ujar ibu menangis.

Dua hari bapak tak sadarkan diri karena stroke dan penyakit itu melumpuhkan kedua kakinya serta mempersulitnya berbicara. Aku bergantian dengan ibu menjaga bapak, aku malam, sedangkan ibu pagi membuatnya tak bisa bekerja. Membuatku menjadi tulang punggung keluarga.

Setengah bulan bapak dirawat, membuat kami kewalahan membayar perawatannya. Dia terus meminta pulang karena tahu kami sudah tak punya uang. Aku pun tahu pasti berat rasanya bila membebani keluarga apalagi dia adalah kepalanya. Kami tak punya KIS*, meski sudah mengajukannya tetap saja belum mendapatkannya. Sedangkan untuk membayar biaya rumah sakit kami berhutang sana sini. Aku masih bersyukur ada sanak saudara yang mau memberi bantuan meski tak banyak.

MR. BuleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang