Beberapa bulan lalu aku bertemu dengan seorang gadis yang rupawan, usianya beberapa tahun di bawahku. Sembari menyeka ekor matanya, ia berusaha tersenyum kepadaku, aku sedikit menyunggingkan bibir kemudian menyodorkan tissue. Bertempat di sebuah Halte Busway di dekat stasiun kecil di Kota tempatku bekerja, gadis manis itu memulai ceritanya.
Namanya Indah, sebut saja demikian. Usianya belum genap 21 tahun, Indah merupakan seorang mahasiswi di Perguruan Tinggi Swasta yang tengah mempersiapkan diri menghadapi Tugas Akhir Skripsi, ada proyek kampus, katanya. Gadis berdarah Jawa itu berbagi pilu, di usianya yang masih sangat muda Indah sudah menjadi tulang punggung keluarganya. Selain menjalani hari-hari sebagai mahasiswi berkat beasiswa yang diperolehnya, Indah juga bekerja sebagai seorang kasir di salah satu resto kecil di dekat pusat kota.
Sedikit terbata – bata ia memaparkan kejadian tak mengenakkan yang dialaminya, sebuah perselingkuhan, katanya. Mirisnya, ia yang harus menyokong keluarganya malah butuh pertolongan untuk menyelamatkan hatinya yang terluka, menganga. Seorang lelaki berdarah sunda berhasil mengelabuinya, dengan hati-hati namun penuh muslihat. Damar namanya, lelaki bertubuh tinggi, berkulit sawo matang dengan hidung mancung dan mulut yang berbisa, kata Indah.
Sudah menjalani hubungan selama hamper empat tahun, berbekal kepercayaan, kerinduan yang mendalam selalu dapat teratasi, meskipun berteman jarak. Butuh menyeberangi pulau untuk saling bertukar rindu, menjadi hal yang sangat mungkin jika alasan ketidaksetiaan itu muncul. Kepercayaan yang sudah dipupuk sejak masa putih abu-abu, begitu saja pupus dikoyak ego. Damar sang pengkhianat, katanya.
Mengingatkanku pada seorang lelaki berlesung pipi, yang juga penuh ambisi. Hal terbaik yang aku syukuri adalah aku bisa mengenangnya tanpa rasa benci. Baiklah, cukup sudah tentang Indah dan Damar. Aku akan mulai bercerita...
YOU ARE READING
Setangkup Rindu
Short Story"Mengapa takut pada lara Sementara semua rasa bisa kita cipta Akan selalu ada tenang di sela-sela gelisah Yang menunggu reda..." Di atas Meja, Payung Teduh. Sayup - sayup aku bernyanyi, mengikuti irama musik dari laptopku. Sedikit sesak, rasanya ada...