L i m a; Pembawa Petaka

11 2 0
                                    

Aku mencintaimu dalam diam,
dan biarkan aku melindungimu dalam diamku pula.

—————


"HAI SEMUANYA!!" Suara teriakan dari gadis itu memenuhi kelas 10 IPA 3.
Taeyana Maudia, gadis cantik yang selalu dijadikan sebagai gadis idaman di SMA Tara Widjaya itu telah kembali bersekolah dari masa liburannya.

"Tayaaaaa!"

"Ay aynya gue udah masuk nih,"

"Kemana aja, Sayang?"

"Eh si cantik dateng juga,"

Begitulah ciutan para kaum Adam penghuni kelas 10 IPA 3 yang terus menggodai Taya.

"Ih masa gak tau sih! Kan habis ikut Papi gue ke Singapore.. Bukannya gue nge snapgram di instagram ya?" Ujar Taya dengan suara imut ala dirinya.

Sudah tahu sendiri kan, bagaimana komentar para lelaki tentang perkataan Taya? Apa lagi jika bukan kata manis dari mereka semua?

Melihat Taya yang sedaritadi berdiri dan ngedumel didepan kelas, Xalova dan Syanat, sahabat dari Taya, langsung memanggilnya.

"TAYA! SINI!" Heboh Syanat yang sedang memanggil Taya.

"NANAAAT! VAVAAA!" Teriak Taya dari depan kelas dan berlari kecil ke arah mereka berdua.

Taya langsung memeluk kedua sahabatnya itu dan menuangkan rasa rindunya didalam pelukan itu.

"Lama banget sih liburannya, seminggu lagi!" Gerutu Xalova.

"Maklumin aja udah, Va.." Syanat langsung menyenggol lengan Taya dengan sikutnya.

Kring.. Kring..

Bel sudah berbunyi, menandakan pelajaran akan segera dimulai. Semuanya langsung duduk ditempat dengan rapih dan menunggu guru yang akan mengajar datang.

***

Xalova menghempaskan dirinya di atas kasur.
Saat ini Xalova sedang lelah, karena banyak tugas yang diberikan oleh guru lesnya. Tugasnya pun berisikan soal yang sulit untuk Xalova pecahkan. Semua tubuh dan otak Xalova lelah karena sehabis bersekolah, ia langsung pergi ke tempat lesnya dan beradu dengan soal-soal lagi.

Xalova pun terduduk dan langsung memijiti kakinya yang sedang lelah.

"Aduh.. Pegel banget sih," Gumam Xalova sesambil memijiti kedua kakinya.

Terdengar suara pintu yang terbuka dari kamarnya.
Siapa yang memasuki kamarnya tanpa mengetuk pintu kamarnya?

"KAMU DIPANGGILIN DARITADI GAK DENGER YA?!!" Ternyata Joana yang memasuki kamar Xalova. Bentakan Joana sangat nyaring, hingga membuat pembantu rumahnya menghampiri mereka.

"Maaf Nyonya, kalo saya lancang.. Ono opo iki, Nya?" Tanya Bi Minten dengan suara yang halus.

"Bibi gak usah ikut-ikutan deh! Kalo lagi kerja ya kerja aja!!" Bentak Joana kepada Bi Minten. Sangat tidak sopan apabila kita membentak orang yang jelas lebih tua daripada kita, walau kastanya berbeda.

"Nggih, Nyonya.. Nyuwun pangapuro nggih, Nya.." Bi Minten meminta maaf atas kesalahan yang sudah ia perbuat kepada majikannya yang sangat tidak sopan itu. Bi Minten berlalu ke dapur dengan memegangi dadanya yang terasa sakit karena bentakan Joana.

"Ma, kalo sama orang yang lebih tua itu gak boleh kasar. Kasihan kan tuh tadi Bi Minten kaget sama suara bentakan kasar dari Mama." Sarkas Xalova, namun dengan suara yang halus.

Joana langsung mencengkram rahang Xalova dengan kasar dan berkata, "Berasa udah pinter ya, ngeguruin Mama?"

Xalova terdiam.
Yang ia rasakan hanyalah rasa sakit. Namun bukan dari sifat kasar Joana, melainkan rasa sakit hati Xalova kepada Joana karena selalu memperlakukan Xalova dengan kasar. Selama ini ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, sebenarnya apa yang membuat Ibu kandungnya itu selalu memperlakukan Xalova layaknya anak tirinya?

Xalova langsung menghempaskan tangan Joana dengan kasar.

"Kenapa sih, Mama selalu ngelakuin hal-hal yang kayak gini ke Xalova? Mama tahu gak, Xalova itu iri sama anak yang dikasih rasa sayang sama Ibunya sendiri-" Bahkan belum sempat Xalova menghabiskan omongannya, Joana langsung membalasnya.

"Karena kamu udah ngebuat suami saya meninggal! Coba waktu itu suami saya ga jemput kamu ke rumah temen kamu, pasti suami saya masih ada! Kenapa bukan kamu yang mati aja sekalian?!!" Hati Xalova sakit. Sangat sakit. Ia ingin menangis saat ini, ia tak kuat lagi menahan air matanya.
Bayangkan saja, Ibu kandungnya sendiri serasa tidak ingin melihat kehadiran anak kandungnya di dunia ini.

"Aku juga gak pengen Papa meninggal, Ma.. Itu juga bukan kemauan aku. Itu takdir, Ma." Lirih Xalova, yang sedang berusaha menahan tangisnya agar tidak pecah.

"SUDAH CUKUP! PENYEBABNYA BUKAN KARENA TAKDIR AJA! TAPI KARENA KAMU JUGA, ANAK PEMBAWA PETAKA!" Joana pun pergi dari kamar Xalova, meninggalkan goresan luka yang menempel di hati Xalova.

Xalova sudah tidak kuat menahan rasa sakit dihatinya ini.
Ia pun jatuh terduduk di lantai kamarnya. Saat itu juga ia menangis, tangisnya benar-benar pecah.
Omongan Joana telah membuat jiwa dan hatinya hancur. Akankah yang dikatakan Joana benar, jika ia anak pembawa petaka?

Xalova pun bangkit mengambil ponsel yang ia letakan di atas nakas.
Ia ingin menelepon seseorang saat ini. Shevo. Satu-satunya teman yang tahu masalah ini.

Xalova pun langsung menelepon Shevo.
Terdengar suara dari ujung sana, berartikan jika teleponnya sudah tersambung.

"S-Shevo.." Isak Xalova.

"Va? Lo nangis?" Tanya Shevo dengan nada cemas.

Shevo cemas. Sangat cemas.
Apakah wajar, bila sahabatnya sendiri merasakan kecemasan yang sangatlah tinggi?
Shevo ingin memeluk erat Xalova saat ini, bila Xalova memang sedang menangis. Shevo ingin ia menjadi penenang Xalova disaat keadaan Xalova sedang terluka ataupun sedang tidak enak suasana hatinya.

—————


- Ono opo iki? (Ada apa ini?)
- Nggih (Iya)
- Nyuwun pangapuro nggih (Minta maaf ya)


dont forget to leave ur vote
thanks!

A MissingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang