"Ran, kamu serius gak mau mengurungkan pikiranmu soal cinta?" Tanya Mika.
"Iya, untuk apa aku repot-repot mencintai? Bukankah itu suatu hal yang membuang-buang waktu? Membuatku lalai dari semua tugasku."
"Ya maksudku, semua manusia kan butuh cinta." Jelas Mika meyakinkanku.
"Tapi ngga buatku Mik!"
Aku bergegas membereskan barang-barangku dan beranjak meninggalkan Mika.
"Tapi Ran... bukan gitu maksudku, kamu harus mengubah pola pikirmu soal cinta. Emang, kadang cinta itu kejam, tapi kembali lagi bagaimana orang menyikapinya. Maka cinta akan berubah menjadi kejam atau tidak." Teriak Mika berusaha sekali lagi menjelaskan kepada diriku.
"Setidaknya kamu mencoba sekali merasakan cinta Ran.. aku kan juga menginginkan yang terbaik buat kamu." Lanjutnya.
Aku terdiam, teriakan Mika menghentikan langkahku, terkadang.. aku memang berpikir bahwa aku tidak boleh terus seperti ini. Tapi, apa boleh buat? Trauma yang terlalu dalam tidak bisa mengubah pola pikirku hingga sekarang. Tanpa pikir panjang, aku pun melanjutkan langkahku, baru dua langkah berjalan, Mika memanggilku Lagi,
"Ran! Tunggu!"
Aku menoleh, "Ada apa Mikaaaaa aku capek."
"Di ujung jalan ada cafe baru buka, ke sana yuk, ngopi-ngopi siapa tau ada cogan, terus.. kamu kecantol deh." Mika membujukku.
"Kalo niat kamu gitu, aku gak mau." Jawabku.
"Ngga lah Ran, bercanda kok, baper banget sih. Temenin aku ngopi, ada wi-fi gratis tau."
Aku sudah terlanjur kesal, "Kamu kesana cari wi-fi gratis doang? Ngga ah, ga tertarik, aku ga ada duit."
"Kamu pikir aku ada duit banyak gitu? Ya ngga lah Ran, kita kesana cari aja yang paling murah, terus.. numpang wi-fi. Ayolahhh.." Bujuk Mika.
"Licik juga kamu, iya iya aku temenin demi kamu sahabatku satu-satunya." Aku mengalah.
Mika membuka pintu cafe,
Kling
suara lonceng cafe berbunyi, menandakan ada pengunjung baru yang masuk.
"Kane juga buat nongkrong."
"Hah? Kane apaan Mik? Kamu kalo lagi sama aku jangan pake bahasa alien dong."
"Gini nih punya sahabat dari negeri sumo, ribet." Gumam Mika.
"Apa kamu bilang!?! Dasar kamu ya Mika Nurjannah! Kamu pikir aku gak denger apa yang kamu bilang?"
Mika menjelaskan, "Kane tuh enak."
"Nah bilang gitu doang apa susahnya sih. Udahlah buruan masuk, terus pesen. Jangan sampe aku berubah pikiran." Jelasku.
"Iya iya."
Aku dan Mika duduk di sofa, Mika hanya memesan kopi susu, dan aku hanya menemani Mika di sini, bermain ponsel.
"Miskin banget kita Ran." Celetuk Mika.
"Kamu aja, aku cuman ga ada duit bukan miskin." Jawabku.
"Eh iya deng."
Kling
Lonceng cafe berbunyi lagi, menandakan ada pengunjung baru yang datang. Spontan, Mika menoleh,
"Ran, Ran, liat itu..." Mika memukul-mukul lenganku.
Aku kesal, "Apaan sih Mik, heboh banget, sibuk nih."
Mika senyum-senyum, "Itu liat duluuu ada cogannn, ya ampun Ran, nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan?"
Aku menoleh, "Oh, b aja."
"Mata kamu burikan ya? Seganteng itu dibilang biasa aja?" Mika kesal.
"Eh eh Ran dia kesiniii."
Saking senengnya, tanpa sadar, Mika sudah jadi bahan sorotan orang-orang sekitar.
"Halo! Kamu Mika ya?" Tanya lelaki itu.
"Eh iya kok tau?" Jawab Mika."Aku Bagas, temen SMPmu dulu, inget?" Jelas lelaki yang memiliki nama Bagas itu.
"What? Serius Bagas? Bagas Prasetyo bocah gendut, tengil, item, culun, ingusan, burikan, yang suka aku bully dulu? Kok sekarang mirip Al Ghazali " Batin Mika.
"Ohh Bagas... udah lama ya kita ga ketemu." Jawab Mika.
"Eh iya ini siapa? Temen?" Tanya Bagas melirik ke arahku.
"Oh.. ini sahabatku, kenalin namanya Ran." Mika memperkenalkanku.
"Halo.. aku Bagas." Bagas mengulurkan tangannya.
"Ran." Jawabku tanpa menjabat tangan Bagas.
"Lucu sih, tapi jutek." Batin Bagas sambil menarik tangannya kembali.
"Mik, aku duluan ya, ada urusan, next time kita ketemu lagi. Nih nomorku, kabarin aja kalo ada sesuatu hal yang penting." Bagas memberikan secarik kertas berisikan nomor HPnya.
"Oke, duluan ya.. bye."
"Bye." Jawab Mika sambil senyum-senyum
Aku hanya sibuk memainkan ponselku daritadi, mengacuhkan Mika dan Bagas. Hari semakin sore, aku dan Mika bergegas meninggalkan cafe itu, sudah ber jam-jam kita di sini. Aku berpamitan kepada Mika agar pulang duluan, ya karena moodku sedang tidak enak.
Aku masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang campur aduk. Kesal, bingung, sedih, marah. Tiba-tiba, Bi Ijah datang dari belakang
"Non, ada telephone dari Papa non, tapi bibi gak ngerti Papa non bilang apa." Bi Ijah menjelaskan.
"Humm bilang aja Bi, 'Gomen ne, ima soto ni deteru' (Maaf, dia sedang tidak ada di rumah) gitu bi." Jawab Ran.
"Hah? Apaan non? Komeng soto?." Tanya Bi Ijah.
"Duhhh Biiii bukannnn, masa tiba-tiba ke komeng, kasian komeng gasalah diomongin -,- bukan komeng Bi.. bilang aja gini Bi 'sorry, Ran is not at home' Papa pasti ngerti kok." Jawab Ran lesu.
"Hehe, ya maaf non, Bibi kan gak ngerti. Yaudah kalo gitu Bibi bilang dulu ya non. Tapi lain kali non jawab dong, kasian Papa non" Lanjutnya.
"Iya iya bi, Ran juga mau ke kamar, dah Bi."
Aku membanting tubuhku ke kasurku yang empuk. Berpikir berkali-kali entah apa yang sedang aku pikirkan. Benar-benar bingung.
Tring ting (Notif SMS HP Ran bunyi)
"Apaan sih, berisik banget, paling operator. Dasar operator gak tau diri! ga pagi buta, ga siang bolong, terus aja kirim-kirim promo menarik. Gak tertarik tau gak." Aku menggerutu sebal.
Tring ting
Tring ting
Tring ting"Hah apaan sih tumben SMS operator terus-terusan."
Aku segera mengambil ponselku, dan langsung mengecek SMS operator ngeselin itu.
"Nani!?! " (Apa)
KAMU SEDANG MEMBACA
UNLOVED
Teen FictionRan, remaja cantik blasteran Jepang yang trauma dengan cinta, bermasalah dengan cinta, dan tidak mau lagi berurusan dengan cinta. Trauma yang begitu dalam yang mengubah mindset Ran 180° soal cinta. Trauma yang Ran alami mengubah sikap Ran terhadap s...