Prolog

24.8K 1.7K 31
                                    


Jangan berhenti, aku hadir bukan untuk membuatmu mengurungkan langkah.

Kemarilah, di sampingku, genggam tanganku, dan ayo melangkah bersama.

Akan kutemani engkau ke mana pun pergi.

Akan kutemani engkau meraih segala yang menjadi mimpimu.

Entah bernama apa yang ada pada kita.

Namun kupastikan satu hal, kamu menjadi segalanya bagiku.

---

Suara gemerisik dan angin sepoi yang hadir tanpa permisi, membuat seorang perempuan yang masih bergelung manis dengan selimut bulu warna putihnya mengerjap berkali-kali. Ia masih teramat enggan membuka mata lebih lebar. Yang ia lakukan kemudian hanya menyipit, mengernyit, namun kembali menutup kelopak matanya.

Samar-samar tadi, ia mendengar suara berbisik teramat merdu dan lirih, membuat ia tak yakin sendiri, itu mimpi atau apa. Dan demi memastikan bayang samar-samar itu, ia memejamkan mata kembali.

Yah, siapa tahu, jika itu mimpi, bisa dilanjut lagi. Iya, siapa tahu, kan?

Detik-detik berlari, bisikkan itu justru tak kembali hadir, sesuatu yang ia kira mimpi tak kembali datang menyambangi. Sehingga ia membuka matanya perlahan, meski berat di kelopak matanya mengiringi untuk membuka.

Perempuan itu memijit pelipisnya pelan. Membalikkan tubuh dengan sedikit melakukan peregangan. Mencoba mengingat, apa yang membuat ia sampai kelelahan dengan badan sedikit pegal-pegal saat bangun pagi ini.

Namun, belum sempat ia menemukan jawabannya di dalam ingatan. Kelopak mata yang terasa berat tadi, membuka begitu lebarnya ketika mendapati satu makhluk sedang berbaring di sebelahnya dengan mata terpejam. Tarikan napas dari seseorang itu yang terdengar seperti sebuah bisikkan di telinganya.

Dia menjerit histeris, refleks memundurkan tubuhnya, dan nahas, ranjang tempatnya berbaring tak berpihak pada si pemilik. Sehingga yang terjadi kemudian, dia mengaduh kesakitan karena tubuhnya jatuh berguling di karpet berbulu.

"Pagi, Gia?" Sapaan penuh keramahan itu, terdengar pertama kali. Dengan kepala seseorang yang menyembul di balik ranjang. "Kenapa tidur di bawah?" tanya Sakha, mengukir senyuman geli.

Gia mendelik, marah. Lupa sudah jika punggungnya nyeri karena menimpa lantai, meski diterima karpet bulu lebih dulu.

"Ngapain kamu di sini?" Gia menjerit. Berbanding terbalik dengan sapaan ramah yang Sakha berikan. "Ini kamarku. Pergi," imbuhnya, kali ini duduk bersila menatap Sakha yang juga duduk bersila di atas ranjang. Lelaki itu tampak begitu santai. Wajahnya segar, tidak nampak seperti orang baru bangun tidur.

Sakha mengulurkan tangan. "Ayo, aku bantu berdiri," tawarnya. Menulikan telinga untuk segala seruan yang terlontar dari perempuan yang memasang wajah kesal di bawahnya.

Gia mendengkus, menepis uluran tangan Sakha. Ia bangkit sendiri dengan berpegangan pada tepian ranjang, lalu bersedekap dada dengan tatapan tajam memindai.

"Ngapain kamu di kamarku pagi-pagi begini. Nggak ada kerjaan?" Sekali lagi, Gia melempar tanya. Masih dengan kadar emosi yang menggelegak di dadanya. "Aku teriak, nih. Panggil papa biar kamu diusir dari kamarku."

Gia semakin menyipitkan mata ketika sadar lelaki di hadapannya terlalu santai menanggapi kekesalannya. Bukan hanya sikap Sakha yang terlalu santai. Tapi juga pakaian yang lelaki itu kenakan. Piama tidur polos dengan dua kancing baju teratas yang terbuka.

Apa-apaan itu.

Gia semakin menunjukkan kemarahannya. "Keluar dari kamarku sekarang. Jangan berani-berani nyentuh aku, ya."

Sakha hanya diam, justru menikmati pemandangan kesal Gia di paginya.

"Mama!" Gia berteriak. Melancarkan ancaman yang Sakha anggap angin lalu. "Pap--"

Untuk teriakan yang kedua, tubuhnya lebih dulu ditarik, lalu dibanting ke ranjang disusul dengan telapak tangan kiri Sakha yang membungkam bibirnya. Menghentikan usaha Gia untuk meneruskan teriakannya.

Gia mendelik. Menggeliat dan hendak menendang Sakha di tempat paling ampuh, namun teredam oleh bisikan lirih lelaki itu.

"Kalau kamu lupa, kemarin, kita baru saja melangsungkan pernikahan."



Yeyyy, bawa wedding story deh...
Semoga kawan-kawan suka, wkwk

Rein

Senja di Persimpangan (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang