Jadi, semua bermula dari apa yang selalu aku lihat dan dengar. Bagaimana sebuah hubungan antar manusia itu terjalin. Apakah mereka akan bertengkar lalu berpisah, atau mungkinkah dengan sedikit ungkapan ringan mampu memberi efek besar dalam hubungan tersebut. Bukan, jika kau membayangkan hal tersebut, maka dengan pasti aku akan berkata tidak.
Aku masih duduk termenung menunggu siapa saja yang akan datang sejenak, lalu mencurahkan isi hatinya lewat secangkir kopi yang sudah tersedia di meja. Bosan jelas datang melandaku saat ini. Tapi mau tidak mau, kesepian telah menjadi teman lama yang selalu setia menemaniku.
Klinting...
Lonceng berbunyi begitu mereka berdua masuk ke dalam kedai. Aku memberikan senyuman paling manis untuk mereka berdua. Namun aku tidak merasakan senyuman balik dari mereka. Si pria terus menggerutu sambil memegangi tangan pasangannya.
“Kenapa ke sini? Kan masih ada toko lain di distrik sebelah.”
“Distrik sebelah? Maksudmu kawasan perkotaan yang tidak jelas itu?” wanita itu berkacak pinggang menunjuk pasangannya dengan nada kesal.
“Tapi ... tempat ini kumuh! Sungguh tidak cocok sebagai tempat pesta anak itu!”
Kalimat pria tersebut benar-benar menusuk hatiku. Baru kali ini aku mendengar komentar negatif seperti ini sepanjang aku dilahirkan. Aku tetap diam menahan emosi, masih dengan senyuman yang tak pernah lepas dari wajahku. Aku berharap pemilik kedai ini lekas datang, setidaknya agar aku tidak sendiri mengahadapi konsumen itu.
Si pria melihat-lihat sudut kedai kecil ini. Bisa kukatakan dengan jelas, meski kedai ini kecil tapi kebersihannya selalu terjaga. Dia lalu duduk di meja bar yang sudah tersedia. Segelas kopi yang sudah tersaji di meja langsung diteguknya.
“Ma, istirahat dulu sejenak ada yang ingin dibicarakan,” ucap pria itu sembari menatap si wanita lesu.
“Tunggu, aku ingin memaketkan mainan ini.”
Wanita itu membawa boneka yang kini ia pegang ke bagian pengemasan dekat kasir. Aku berdehem keras, mengungkapkan eksistensiku. Sepertinya mereka berdua memang tidak sadar jika ada orang lain di ruangan itu selain pelayan kedai. Melalui headphone yang kupakai, suara mereka semakin jelas terdengar.
“Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya wanita itu.
Tangan kanannya terangkat, memanggil pelayan kedai dan memesan segelas milkshake banana. Matanya kini kembali menatap pria di hadapannya.
“Tentang keberadaan anak itu,”
Brakk!!
Wanita itu menggebrak meja dengan keras. Ekspresi wajahnya menunjukkan betapa ia tidak suka dengan bahasan yang akan disampaikan oleh pasangannya. Setidaknya itu yang terlihat jelas dari manik-manikku.
“Apa? Ada apa dengan anak itu?”
“Bukan begitu, dengarkan aku dulu.”
“Apa lagi? Sudah berapa kali kamu bilang hal itu? Aku sudah muak!”
“TAPI DIA BUKAN ANAKKU!”
Pria itu meninggikan suaranya. Sontak si wanita terlonjak kaget, begitu pula aku. Suara pria tersebut benar-benar keras hingga semua mata dalam ruangan itu tertuju pada pria tersebut. Aku tidak menyangkal bila terkadang ada pengunjung semacam pria ini. Entah apa yang ada di pikiran pemilik kedai, yang kutahu pasti, kedai ini ada untuk siapa saja yang ingin mengutarakan masalah yang sedang menghantui mereka.
“Aku tahu! Aku tahu itu! Kamu pikir aku juga berpaling muka tentang ini? Jelas tidak!”
“Hidup kita ini sudah sesak dengan kebutuhan yang tak ada habisnya, terus kenapa kamu malah mengiyakan keinginannya? Benar kita memang belum dikaruniai buah hati dari tuhan, tapi bukan begini juga caranya ... aku masih belum mengerti jalan pikiranmu, Ma!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen 10 Days ✔
Short StoryAdalah sebuah project rutin grup kepenulisan FLC. Yaitu member akan membuat sebuah karya cerpen dalam jangka waktu 10 hari. Cover spektakuler dari salah satu mem kami : @Kuroyuki01