Waktu tak lagi pagi, matahari sudah condong beberapa derajat ke ufuk barat ketika pesawat Garuda yang terbang dari bandara Jendral Ahmad Yani Semarang menuju bandara Adisutjipto Jogjakarta mendarat dengan sempurna.
Rayhan dan Nisa berjalan beriringan menyusuri lorong bandara menuju pintu keluar tanpa saling bercakap. Rayhan sibuk dengan obrolan telephon nya sedang Nisa sibuk menikmati suasana, pandangannya menyapu ke segala arah memperhatikan keadaan sekitar.
"Haii, akhy!" Seorang pemuda berkulit sawo matang, mengenakan kemeja warna abu dan celana kain hitam panjang tengah berteriak sambil melambaikan tangan ke arah Rayhan.
Rayhan tersenyum, menggandeng Nisa mempercepat langkah menghampiri pemuda tersebut.
"Ahlan wa sahlan, Rayhan!" Mereka berdua langsung saling peluk. Nisa memasang senyum berdiri di samping Rayhan.
"Masyaa Allah, bos besar. Sibuk banget sampeyan kayaknya sampai jarang hubungi kerabat di Jogja?"
"Alhamdulillah, yang penting sehat semua, kan? Oh ya, ini Annisah, istriku."
"Masyaa Allah, assalamualaykum Annisah. Saya Wahyu." Ia berucap sambil menelungkupkan tangan di depan dada.
Nisa melakukan hal yang sama seraya menjawab, "waalaykumussalam warohmatullah."
"Nis, dulu waktu Mas Rayhan kecil sering diajak sama Ayah juga Ibu ke Jogja ngunjungin Panti Asuhan. Wahyu ini anak pemilik Panti."
Nisa mengangguk sambil tersenyum paham.
"Sini aku bantu bawa barang-barangnya." Dengan sigap tanpa diminta, Wahyu merapihkan bawaan Rayhan dan Nisa ke bagasi mobil kemudian mempersilakan Rayhan dan Nisa memasuki mobil. Sejak Rayhan mengabarinya tentang rencana berlibur ke Jogja via telphon, Wahyu menawarkan diri untuk menjemput Rayhan di bandara dan mengantarkan Rayhan sampai ke hotel.
"Sampeyan diem-diem aja menikah, Ray?"
"Sengaja. Cuma acara syukuran aja ndak sampai undang kemana-mana."
"Lho, kenapa? Bos besar kan?"
"Ndak papa juga, seleraku sama Nisa emang kayak gitu."
"Wah, bener-bener hora berubah sampeyan, tetep merakyat, haha."
Di sepanjang perjalanan, sambil menyetir mobil Wahyu terus bercakap dengan Rayhan. Sambil terus menanggapi obrolan Wahyu, beberapa kali Rayhan menoleh ke arah Nisa yang sepertinya tak begitu mendengarkan percakapan mereka.
Ia asyik memperhatikan jalan melalui kaca mobil. Menikmati pemandangan yang jarang ia temui di Semarang. Trotoar yang ramai dengan pejalan kaki, jalur becak yang tak kalah sepi, beberapa andong berjajar rapih, musisi jalanan di setiap halaman resto ataupun pusat perbelanjaan, menenggelamkan dirinya dalam indahnya Jogjakarta.
Tak lama kemudian, Wahyu mengerem mobil, berhenti di depan hotel. Rayhan menepuk bahu Nisa pelan, membuatnya kembali ke alam sadar.
"Udah sampe, Mas?" Tanya Nisa sedikit kaget.
"Udah. Ayo turun!" Balas Rayhan dengan senyum terbaik.
"Ray, Nis, aku langsung pulang ya!" Ucap Wahyu setelah selesai menurunkan koper Rayhan dan Nisa.
"Lho, ndak mampir dulu?" Rayhan memawarkan.
"Ora lah, udah sore. Besok aja main."
"Besok insyaa Allah aku ke panti."
"Siap, ditunggu ya. Assalamualaykum!"
"Waalaykumussalam." Jawab mereka serempak.
Dari meja resepsionis, Rayhan dan Nisa berjalan santai sambil bwrbincang menuju kamar. Rayhan sambil membawa koper dan Nisa menjinjing tasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Masjid Agung Kiai Ma'sum
General Fiction"Jatuh cinta adalah fitrah, menikah adalah taqdir. Jodoh sudah ditentukan. Tapi bisakah diubah? Menjadi jatuh cinta kepada jodoh, atau berjodoh dengan yang kita jatuh cintai. Bisakah?"