how to move on

233 6 0
                                    


Saya tadi udah bilang, kan, kalau saya pernah nggak bisa move on selama 2 tahun? Saya ingat betul selama 2 tahun itu saya bertarung sama kegelisahan dan kesedihan sendirian padahal mantan saya juga udah nggak peduli sama sekali. Ya namanya susah move on, mau dicuekin dan nggak dipeduliin gimana juga akan selalu berharap untuk diperhatikan lagi. Apalagi, saya dan mantan saya itu satu sekolahan bahkan satu kelas. Kejadiannya waktu kelas 2 SMA, untungnya waktu naik kelas 3, saya dan dia akhirnya beda kelas. Namun sayangnya, meski beda kelas, nggak membuat saya jadi lebih cepat move on juga. Saya masih susah move on, walaupun saya benar-benar bersyukur nggak lihat dia setiap hari di kelas lagi. Cuma bisa lihat dia waktu moving class aja dan itupun kalau kelas saya dan kelasnya kebetulan lewat di jalan yang sama.

Hal lain yang membuat saya sulit move on salah satunya adalah karena teman-teman masih suka menjodoh-jodohkan saya dengan mantan. Kebayang dong susahnya move on waktu kita berusaha menghindar dari mantan tapi teman-teman kita dengan seenak jidat mereka serempak teriak "Cieee" lima harakat setiap kali kita dan mantan berpapasan? Itulah yang saya rasakan. Selama setahun, saya dicie-ciein sama teman-teman saya. Nggak cuma teman-teman saya, bahkan sampai guru-guru pun ikut-ikutan menjodoh-jodohkan saya. Sengaja menyebut namanya di kelas yang kemudian diikuti seringai jail dan teriakan "Cieee" lima harakat tadi dari teman-teman dan ditutup dengan adegan saya senyum-senyum padahal hati remuk redam nggak tahu bentuknya udah kayak apa.

Setelah lulus SMA, saya memutuskan untuk kuliah di Jogja. Selain untuk mengejar cita-cita, saya juga ingin lekas-lekas lepas dari bayang-bayang mantan. Teman-teman saya banyak yang mendaftar kuliah di salah satu universitas paling bergengsi di Palembang (iya, saya SMA-nya di Palembang), termasuk mantan saya. Bukannya ikut-ikutan mereka untuk daftar di universitas tersebut, saya justru semangat banget untuk kuliah dan tinggal di Jogja. Benar-benar berniat untuk membuka lembar baru di kehidupan saya. Setahun kuliah, saya rupanya masih aja berakhir susah move on. Setelah saya ingat-ingat lagi, yang membuat saya tetap bertahan nggak mau move on waktu itu adalah keyakinan bahwa saya dan mantan akan balikan lagi. Sebab waktu SMA dulu, saat saya dan dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan, kami sempat berjanji untuk menjalin hubungan lagi saat kami sudah sama-sama lulus dan kuliah. Alasannya klise, supaya lebih serius pacarannya. Saya, sih, (karena tolol) masih ingat soal janji itu dan tetap bertahan meski saya tahu dia udah nggak peduli atau bahkan lupa sama janji tersebut. Kalau ada di antara kalian yang merasakan hal yang sama seperti yang saya rasakan, pesan saya adalah berhentilah menjadi bodoh dengan mengharapkan sesuatu yang nggak mungkin terjadi dengan mengatasnamakan kesetiaan. Setia boleh saja, asal yang kita setia-in itu juga setia sama kita. Namun, kalau dia saja nggak peduli, itu namanya bukan setia, tapi bodoh.

Singkatnya, selama di Jogja itu saya masih belum bisa move on. Saya masih sering stalking akun twitter mantan, masih sering menanyakan kabar mantan kepada teman saya yang satu kelas dengannya, dan bahkan saya masih ngasih kado saat mantan saya ulang tahun.

Ada cerita lucu mengenai kado. Jadi begini, tahun kedua susah move on, saya udah berada di Jogja. Mantan saya berulang tahun di akhir tahun, jadi waktu itu saya siapkan kado dan sebuah surat. Bukan surat basa-basi atau apa, surat itu adalah lagu The Reason-nya Hoobastank yang saya terjemahkan ke dalam bahasa jawa. Yang ingin saya sampaikan ya intinya sama dengan isi lagu The Reason itu. Dengan bantuan dua sahabat saya, akhirnya saya berhasil menerjemahkan lagu tersebut dan saya kirimlah paket berisi kado ulang tahun dan surat itu ke alamat mantan saya. Saat ulang tahunnya tiba, saya ucapkan selamat ulang tahun (nggak lupa, ngucapinnya tengah malam supaya tetap jadi orang pertama yang ngucapin selamat ulang tahun) dan saya memang nggak ngasih tahu kalau udah ngirimin dia kado dari Jogja. Supaya surprise gitu ceritanya.

Saya tunggu-tunggu kok dia sama sekali nggak ngirim ucapan terima kasih atas kadonya, ya? Saya sempat heran juga. Jangan-jangan mantan saya ini memang kurang ajar dan nggak tahu terima kasih. Akhirnya, ketimbang mikir yang macam-macam, saya memutuskan untuk nunggu aja. Setelah tiga bulan sejak ulang tahunnya itu, akhirnya saya gemas juga. Saya teleponlah pihak jasa pengiriman barangnya untuk memastikan apakah barang saya udah diterima atau belum. Ternyata eh ternyata, barangnya udah sampai ke alamat yang dituju, tapi katanya si penerima udah pindah rumah. Jadilah kado itu kembali lagi ke Jogja dan selama 3 bulan itu nganggur di kantor jasa pengiriman barang. Setelah janjian sama petugas jasa pengiriman itu, saya akhirnya berhasil mendapatkan kado itu kembali. Saya bawa pulang, lalu saya buka. Saya tertawa sendiri waktu itu. Pahit banget rasanya, tapi kok ya lucu juga. Setelah berhasil mengumpulkan kewarasan, akhirnya saya menghibur diri sendiri dengan bilang bahwa mungkin kado itu memang bukan rezekinya mantan saya. Entah mantan saya tahu soal kado ini atau nggak karena sampai sekarang, saya nggak ngasih tahu dia kalau dulu saya sempat mengiriminya kado. Hehe.

About Moving On (Completed)Where stories live. Discover now